Afrizal Qosim *
Matahari belum nampak. Hanya seberkas mega kuning yang terpancar dari ufuk timur membelakangi Masjid, tatkala Pak Kyai mengakhiri riwayat dzikir Shubuhnya. Seperti biasa, sebagai penutup dzikir, dua ayat akhir dari Surat at-Taubah menjadi lantunan yang tak bisa tidak dilafadkan oleh Pak Kyai. Selalu itu. Istiqomah.Para jamaah, yang terdiri dari santri dan masyarakat sekitar, masih setia menunggu sampai Pak Kyai selesai berdzikir.
Sikap menunggu itu, dilakukan hanya untuk ber-mushofahah, mengharap berkah dan barokah. Yang menarik dari moment menunggu itu adalah, tidak sedikit jamaah yang masih terkantuk-kantuk. Meski ada dua macam makmum dari dua golongan yang berbeda, yang mendominasi tetaplah para Santri.
Santri yang kebanyakan masih akan beranjak dewasa, pada moment itu, nampak mengelipkan berkali-kali kedua matanya, sebab kantuk Shubuh yang demikian kuat menggelayut di kelopak matanya. Tak jarang, kondisi seperti itu, mengundang tawa orang yang melihat kepala jatuh-bangun tertimpa beban kantuk yang membabi-buta.
Sementara Pak Kyai sudah mengakhirkan riwayat dizikirnya, mendapati suasana pesantren dari bilik ke bilik yang lain, masih nampak senggang. Sepi. Sebab masih banyak yang tertidur pulas. Bersamaan dengan hal itu, kumandang pujian-pujian berwujud sya’ir bersahut-sahutan, dari satu komplek ke satu komplek yang lain, pujian itu diwakil-bacakan oleh satu orang santri yang ditugasi, atau bahkan santri yang ingin suaranya didengar.
Tidak jarang muncul kekaguman jika suaranya bagus dan sindiran jika kacau itu suara. Meski hanya satu qori’, pujian itu terdengar saling berkejaran, bersahut-sahutan. Seolah-olah anda mendengarkan alunan musik Blues-nya Jhon Mayall. Umpama taman burung, suara itu sedemikian jernih terdengar oleh telinga orang yang dengan sengaja mendengarnya, pun dengan yang tidak sengaja mendengarnya. Bahkan segerombolan burung akan rela menghentikan kicaunya selama empat menit, demi menghormati lantunan pujian-pujian tersebut.
Syahdan, Sya’ir yang rutin didaras oleh para Santri ba’da Shubuh merupakan Sya’ir hasil karya para sesepuh Pesantren, ada sya’ir ya rabbana binabiyyina KH. Moehammad Moenawwir bin Abdullah Rosyad dan sya’ir asma’ul husnaa karya KH. Ali Maksum. Yang demikian ini, terjadi di kala Shubuh Pondok Pesantren Al-Munawwir, Krapyak, Yogyakarta. Demikian itu tradisi yang dihidupkan oleh beberapa Pesantren Nusantara. Pesantren Al-Munawwir, salah satunya.
Sastra dalam Pesantren
Sebagai khazanah pesantren yang masih bersahaja dan lestari, membaca bait-bait puisi (Nadzam), Puisi (Sya’ir), seolah menjadi langganan bagi lidah para Santri. Dengan lanyah mereka mengumandangkannya. Tidak sedikit dari mereka telah begitu hafal di luar kepala.
Setiap hari, secara berjamaah, Pujian-Pujian, Sya’ir, Mandhumah hampir pasti akan terdengar di bilik-bilik Pesantren. Beberapa bentuk itu, terdengar seperti prosa dengan tanda nada yang berima a-b-a-b, mayoritas sya’ir Pesantren (berbahasa Arab) hampir sama. Misal, akhir kalimat dari satu bait dibaca jer (kasrah), maka kalimat setelahnya pasti dibaca jer (kasrah) pula. Akhir kalimat dari satu bait dibaca nashob (fathah), maka kalimat setelahnya pasti dibaca nashob (fathah) pula, dan begitu seterusnya.
Ada juga yang diperalati dengan iringan musik tradisional, misal di Pondok Pesantren Kewagean, Kediri. Pesantren yang diasuh oleh KH. Abdul Hannan itu, menerapkan model menghafal nadzam alfiyyah ibnu malik dengan iringan alat musik seperti gendang, ketipung, kencreng dan rebana.
Kombinasi dari alat-alat tersebut, dimainkan dengan nada datar mengikuti nada yang dibawakan oleh para qori’ nadzam. Demikian itu, menjadi rutinitas bagi para santri di setiap hari. Mereka mencari tempat longgar terlebih dahulu sebelum memulai ritual membaca nadzam. Demi menjaga kemaslahatan lingkungan pesantren.
Maksudnya, mereka mencoba menjaga ketentraman pesantren, dengan tidak mengganggu ketentraman hati para santri lain yang, tentunya memiliki kegiatan masing-masing. Sikap toleransi itu, langgeng mereka amalkan. Sebab lain, melagukan nadzam itu, adalah nanti, akan ada waktu di mana hafalan itu akan diuji.
Mungkin ini, wajah sastra pesantren dalam derajat Sudra. Derajat yang paling sederhana. Sebab mereka hanya melagukan, menyanyikan, mendendangkan, beberapa nadzam, sya’ir karya ulama salafiyyah maupun khalafiyyah. Juga mencakup pula hikayat-hikayat Arab dan Persia. Belum sampai pada tingkatan selanjutnya. Tapi, itu tidak bisa tidak lebih lanjut akan diupayakan oleh beberapa aktor dari civitas pesantren.
Mengenai hal ini, saya bersepakat dengan Jamal D. Rahman,[i] ia berpendapat ihwal “Sastra Pesantren”—yang masih menjadi perdebatan panjang sampai sekarang, banyak tokoh yang berlainan pendapat dengan istilah itu. Tidak sedikit pula yang menyatakan ketidak-sepahamannya, seperti Taufik Ismail dan Radar Panca Dahana.
Jamal, Salah satu penyunting buku 33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh yang menuai berjibun kontroversi itu, menyebutkan beberapa ciri atau karakteristik dari Sastra Pesantren.
Pertama, sastra yang hidup di Pesantren—seperti yang telah penulis narasikan di paragraf pendahuluan. Kedua, sastra yang ditulis oleh orang-orang Pesantren (Kyai, Santri, Alumni). Ketiga, sastra yang bertemakan pesantren, seperti Ummi Kultsum, AA. Navis, Prof. DR. Hamka, Aguk Irawan MN, Djamil Suherman, Abidah El-Khalieqy, Mushtofa Bisri. Pensyarahan yang seperti itu, khazanah sastra pesantren mengalami perluasan dan pengayaan, baik dalam bentuk, isi, maupun lingkungan pergaulannya.
Dalam tiga point itu, yang benar-benar menjadi pioner “Sastra Pesantren” adalah point nomor dua. Untuk kedua point lain, yakni point pertama, kita tahu, hanya tergolong Sastra Pesantren berderajat Sudra. Meski Sudra, tapi jangan ragukan kontribusinya. Sementara point ketiga, sastra bertemakan pesantren yaitu menjadikan pesantren sebagai objek sastra, seperti mengamini judul esai Abdurrahman Wahid dalam karya Menggerakkan Tradisi; Esai-Esai Pesantren.
Judul yang diamini oleh kategorisasi terhadap point kedua adalah Pesantren Dalam Kesusastraan Indonesia,[ii] dalam cakupan judul tersebut, Gus Dur memulai dengan beberapa tokoh yang telah dengan suka dan rela menarasikan dunia pesantren. Ada Hamka dengan Di Bawah Lindungan Ka’bah, Robohnya Surau Kami oleh A.A. Navis, Guruku Orang-orang dari Pesantren sebagai otobiografi KH. Syaifuddin Zuhri, ia menceritakan secara detail fenomena tradisi yang dialaminya di kampung, pesantren, rumah tinggal, bahkan kolonialisasi.
Mulai dari mengenal Bahasa Arab, kitab turats, sampai pada ideologi nasionalisme. Karya ini menjadi untaian yang indah dan begitu menarik. Sedemikian menariknya, buku itu menjadi referensi wajib bagi akademisi yang konsen pada dunia pesantren. Tidak jauh berbeda dari karya Syaifuddin Zuhri, ada Semasa Kecil di Kampung sebagai otobiografi Mohammad Radjab yang sedikit banyak menggambarkan tradisi hidup bersarung di kampung.
Selain itu, tidak ada lagi yang disebutkan oleh Gus Dur. Kemiskinan karya sastra yang, menjadikan pesantren sebagai subjeknya, oleh Gus Dur, disebutkan beberapa faktor penghambatnya. Pertama, taraf terminologis yang tinggi adalah persoalan dramatis dalam pesantren. Determinasi (al Jabru), free destination (irodah), intensitas ketundukan kepada Tuhan, habituasi yang stagnan, begitu sukar dinarasikan dalam bentuk karya fiktif.
Kedua, adalah sebab kekakuan paradigma beragama masyarakat kita. Semestinya, untuk tempo dekat ini, persoalan itu bisi diobati. Sebab tuntutan zaman supaya saling keterbukaan untuk menghindari kebohongan dan distorsi. Sehingga sastra yang menjadikan pesantren sebagai subjeknya, tidaklah menjadi barang yang tabu. Perlu upaya Desakralisasi Agama, kata Nurcholish Madjid.
Sementara dalam point kedua, adalah point yang demikian dhohir relevansinya terhadap pesantren. Civitas pesantren, mulai dari Santri, Kyai serta Alumni, memiliki kontribusi nyata terhadap khazanah “Sastra Pesantren”.
Wujud dari kontribusi itu adalah membuminya beberapa karya sastra yang berunsur pesantren. Entah itu dalam bahasa Arab, Jawa, Indonesia dst., dsb. Unsur pesantren yang dibawa pun, tidaklah hal yang biasa. Penguasaan dalam keilmuan bahasa dan pesantren fardhu dipegang. Ilmu badi’/ilmu balaghoh, ilmu ardul, ilmu nahwu-shorof . Pegangan kuat, serta penguasaan yang mantap adakalanya akan menjadi kunci keberhasilan membuat karya “Sastra Pesantren”.
Selain itu, yang tak boleh diabaikan adalah intrepetasi dari nilai-nilai Qur’ani. Sebagai karya sastra terakbar di dunia, al-Qur’an, dalam bahasa KH. Sahal Mahfudz,[iii] tidak hanya menyimpan redaksi kata yang analitik, melainkan nilai estetik juga tersimpan dibelahan paling dalamnya. Dalam takaran ini, Tuhan sendiri mengakui bahwa dia menyintai keindahan (estetika).
“Innallaha jamiilun yuhibbul jamaal” (sesungguhnya Tuhan itu Indah dan mencintai keindahan). Yakni mencintai alam semesta, kehidupan selain bangsa Anak Adam disertai men-tadabburi fenomena sosial yang terjadi, hingga kita mengetahui adanya dinamika yang indah dari banyak segi dalam kehidupan. Multidimensional adalah paradigma yang fardhu diperhatikan sebelum bisa menghasilkan karya sastra yang gemilang. Lalu, apalagi yang diragukan dari intrepetasi nilai-nilai al-Qur’an dalam babakan “Sastra Pesantren”? Nikmat pesantren apalagi yang akan kau dustakan?. Peringatan ini supaya kita bersama-sama merenung dan berpikir.
Ala kulli hal, manifestasi atas artikulasi makna yang tersimpan dalam al-Qur’an, lalu dibedah dengan beberapa alat/ilmu pembedah—balaghoh, arudl, nahwu-shorof. Maka tidak mungkin tidak, kita akan mendapati karya sastra yang memukau. Melalui proses itu pula, KH. Moenawwir (Krapyak), KH. Ali Maksum (Krapyak), KH. Bisri Musthofa (Leteh, Rembang) dengan beberapa gubahan sya’irnya, misal yang termasyhur adalah “Tombo Ati”, KH. Ali Ahmad (Cukir, Jombang) yang dengan santun menyanjung bulan Ramadan dalam sya’irnya “Ya Ramadhan”, KHR. Asnawi (Kudus) dengan “Sholawat Asnawiyyah” yang masyhur sebagai sholawat nasionalis, dan masih banyak lagi.
Sementara itu, menurut Gus Mus, KH. Hasyim Asy’ari dan KH. Hamid Pasuruan pun mempunyai diwan atau antologi puisi. Dengan menjadi-menjadi, Gus Mus pun mengutarakan urgensi bersastra atau berpuisi bagi civitas pesantren. Ungkapan itu muncul tatkala banyak sindiran yang tertuju kepadanya sebab dia bersastra, berpuisi, aktif nulis karya sastra di koran, padahal posisinya saat itu dianggap sebagai Kyai.
Wa ba’du, mucul ungkapan “Kyai kok berpuisi !”. Gus Mus lalu meresponnya, “justru kyai-kyai yang tidak berpuisi itu aneh. Karena mulai Kanjeng Nabi sampai Kyai Hasyim Asy’ari itu berpuisi semua. Tiap hari jum’at, orang pesantren membaca puisi semua. Tapi puisinya Jakfar al-Barzanji, puisinya al-Bhusiri, puisinya ad-Diba’i, terus kenapa saya tidak bikin sendiri? Hahaha.”[iv] Bahwa sesungguhnya, Sastra di Pesantren bukanlah hal yang tabu!. Wallahu A’lam.
*) Santri eMHa Satu PP. Al-Munawwir
Endnote:
[i] Jamal D. Rahman, 2008, Sastra Pesantren dan Radikalisme Islam. Dalam https://jamaldrahman.wordpress.com/2008/10/25/sastra-pesantren-dan-radikalisme-islam/. Diakses pada 10 Juni 2016. 1.37 Wib.
[ii] Abdurrahman Wahid, Menggerakkan Tradisi; Esai-Esai Pesantren, (Lkis; Yogyakarta;2001), Hlm. 44.
[iii] K.H. M. A. Sahal Mahfudz, Nuansa Fiqh Sosial, (Yogyakarta; Lkis; 2011), Hlm. 144-146.
[iv] Majalah Hayamwuruk, Gus Mus: Kyai Tak Buat Puisi Itu Aneh. Edisi No. 1/Tahun XVIII/2008.
http://www.almunawwir.com/pesantren-berpuisi-dan-wajah-sastra-pesantren-nusantara/
Matahari belum nampak. Hanya seberkas mega kuning yang terpancar dari ufuk timur membelakangi Masjid, tatkala Pak Kyai mengakhiri riwayat dzikir Shubuhnya. Seperti biasa, sebagai penutup dzikir, dua ayat akhir dari Surat at-Taubah menjadi lantunan yang tak bisa tidak dilafadkan oleh Pak Kyai. Selalu itu. Istiqomah.Para jamaah, yang terdiri dari santri dan masyarakat sekitar, masih setia menunggu sampai Pak Kyai selesai berdzikir.
Sikap menunggu itu, dilakukan hanya untuk ber-mushofahah, mengharap berkah dan barokah. Yang menarik dari moment menunggu itu adalah, tidak sedikit jamaah yang masih terkantuk-kantuk. Meski ada dua macam makmum dari dua golongan yang berbeda, yang mendominasi tetaplah para Santri.
Santri yang kebanyakan masih akan beranjak dewasa, pada moment itu, nampak mengelipkan berkali-kali kedua matanya, sebab kantuk Shubuh yang demikian kuat menggelayut di kelopak matanya. Tak jarang, kondisi seperti itu, mengundang tawa orang yang melihat kepala jatuh-bangun tertimpa beban kantuk yang membabi-buta.
Sementara Pak Kyai sudah mengakhirkan riwayat dizikirnya, mendapati suasana pesantren dari bilik ke bilik yang lain, masih nampak senggang. Sepi. Sebab masih banyak yang tertidur pulas. Bersamaan dengan hal itu, kumandang pujian-pujian berwujud sya’ir bersahut-sahutan, dari satu komplek ke satu komplek yang lain, pujian itu diwakil-bacakan oleh satu orang santri yang ditugasi, atau bahkan santri yang ingin suaranya didengar.
Tidak jarang muncul kekaguman jika suaranya bagus dan sindiran jika kacau itu suara. Meski hanya satu qori’, pujian itu terdengar saling berkejaran, bersahut-sahutan. Seolah-olah anda mendengarkan alunan musik Blues-nya Jhon Mayall. Umpama taman burung, suara itu sedemikian jernih terdengar oleh telinga orang yang dengan sengaja mendengarnya, pun dengan yang tidak sengaja mendengarnya. Bahkan segerombolan burung akan rela menghentikan kicaunya selama empat menit, demi menghormati lantunan pujian-pujian tersebut.
Syahdan, Sya’ir yang rutin didaras oleh para Santri ba’da Shubuh merupakan Sya’ir hasil karya para sesepuh Pesantren, ada sya’ir ya rabbana binabiyyina KH. Moehammad Moenawwir bin Abdullah Rosyad dan sya’ir asma’ul husnaa karya KH. Ali Maksum. Yang demikian ini, terjadi di kala Shubuh Pondok Pesantren Al-Munawwir, Krapyak, Yogyakarta. Demikian itu tradisi yang dihidupkan oleh beberapa Pesantren Nusantara. Pesantren Al-Munawwir, salah satunya.
Sastra dalam Pesantren
Sebagai khazanah pesantren yang masih bersahaja dan lestari, membaca bait-bait puisi (Nadzam), Puisi (Sya’ir), seolah menjadi langganan bagi lidah para Santri. Dengan lanyah mereka mengumandangkannya. Tidak sedikit dari mereka telah begitu hafal di luar kepala.
Setiap hari, secara berjamaah, Pujian-Pujian, Sya’ir, Mandhumah hampir pasti akan terdengar di bilik-bilik Pesantren. Beberapa bentuk itu, terdengar seperti prosa dengan tanda nada yang berima a-b-a-b, mayoritas sya’ir Pesantren (berbahasa Arab) hampir sama. Misal, akhir kalimat dari satu bait dibaca jer (kasrah), maka kalimat setelahnya pasti dibaca jer (kasrah) pula. Akhir kalimat dari satu bait dibaca nashob (fathah), maka kalimat setelahnya pasti dibaca nashob (fathah) pula, dan begitu seterusnya.
Ada juga yang diperalati dengan iringan musik tradisional, misal di Pondok Pesantren Kewagean, Kediri. Pesantren yang diasuh oleh KH. Abdul Hannan itu, menerapkan model menghafal nadzam alfiyyah ibnu malik dengan iringan alat musik seperti gendang, ketipung, kencreng dan rebana.
Kombinasi dari alat-alat tersebut, dimainkan dengan nada datar mengikuti nada yang dibawakan oleh para qori’ nadzam. Demikian itu, menjadi rutinitas bagi para santri di setiap hari. Mereka mencari tempat longgar terlebih dahulu sebelum memulai ritual membaca nadzam. Demi menjaga kemaslahatan lingkungan pesantren.
Maksudnya, mereka mencoba menjaga ketentraman pesantren, dengan tidak mengganggu ketentraman hati para santri lain yang, tentunya memiliki kegiatan masing-masing. Sikap toleransi itu, langgeng mereka amalkan. Sebab lain, melagukan nadzam itu, adalah nanti, akan ada waktu di mana hafalan itu akan diuji.
Mungkin ini, wajah sastra pesantren dalam derajat Sudra. Derajat yang paling sederhana. Sebab mereka hanya melagukan, menyanyikan, mendendangkan, beberapa nadzam, sya’ir karya ulama salafiyyah maupun khalafiyyah. Juga mencakup pula hikayat-hikayat Arab dan Persia. Belum sampai pada tingkatan selanjutnya. Tapi, itu tidak bisa tidak lebih lanjut akan diupayakan oleh beberapa aktor dari civitas pesantren.
Mengenai hal ini, saya bersepakat dengan Jamal D. Rahman,[i] ia berpendapat ihwal “Sastra Pesantren”—yang masih menjadi perdebatan panjang sampai sekarang, banyak tokoh yang berlainan pendapat dengan istilah itu. Tidak sedikit pula yang menyatakan ketidak-sepahamannya, seperti Taufik Ismail dan Radar Panca Dahana.
Jamal, Salah satu penyunting buku 33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh yang menuai berjibun kontroversi itu, menyebutkan beberapa ciri atau karakteristik dari Sastra Pesantren.
Pertama, sastra yang hidup di Pesantren—seperti yang telah penulis narasikan di paragraf pendahuluan. Kedua, sastra yang ditulis oleh orang-orang Pesantren (Kyai, Santri, Alumni). Ketiga, sastra yang bertemakan pesantren, seperti Ummi Kultsum, AA. Navis, Prof. DR. Hamka, Aguk Irawan MN, Djamil Suherman, Abidah El-Khalieqy, Mushtofa Bisri. Pensyarahan yang seperti itu, khazanah sastra pesantren mengalami perluasan dan pengayaan, baik dalam bentuk, isi, maupun lingkungan pergaulannya.
Dalam tiga point itu, yang benar-benar menjadi pioner “Sastra Pesantren” adalah point nomor dua. Untuk kedua point lain, yakni point pertama, kita tahu, hanya tergolong Sastra Pesantren berderajat Sudra. Meski Sudra, tapi jangan ragukan kontribusinya. Sementara point ketiga, sastra bertemakan pesantren yaitu menjadikan pesantren sebagai objek sastra, seperti mengamini judul esai Abdurrahman Wahid dalam karya Menggerakkan Tradisi; Esai-Esai Pesantren.
Judul yang diamini oleh kategorisasi terhadap point kedua adalah Pesantren Dalam Kesusastraan Indonesia,[ii] dalam cakupan judul tersebut, Gus Dur memulai dengan beberapa tokoh yang telah dengan suka dan rela menarasikan dunia pesantren. Ada Hamka dengan Di Bawah Lindungan Ka’bah, Robohnya Surau Kami oleh A.A. Navis, Guruku Orang-orang dari Pesantren sebagai otobiografi KH. Syaifuddin Zuhri, ia menceritakan secara detail fenomena tradisi yang dialaminya di kampung, pesantren, rumah tinggal, bahkan kolonialisasi.
Mulai dari mengenal Bahasa Arab, kitab turats, sampai pada ideologi nasionalisme. Karya ini menjadi untaian yang indah dan begitu menarik. Sedemikian menariknya, buku itu menjadi referensi wajib bagi akademisi yang konsen pada dunia pesantren. Tidak jauh berbeda dari karya Syaifuddin Zuhri, ada Semasa Kecil di Kampung sebagai otobiografi Mohammad Radjab yang sedikit banyak menggambarkan tradisi hidup bersarung di kampung.
Selain itu, tidak ada lagi yang disebutkan oleh Gus Dur. Kemiskinan karya sastra yang, menjadikan pesantren sebagai subjeknya, oleh Gus Dur, disebutkan beberapa faktor penghambatnya. Pertama, taraf terminologis yang tinggi adalah persoalan dramatis dalam pesantren. Determinasi (al Jabru), free destination (irodah), intensitas ketundukan kepada Tuhan, habituasi yang stagnan, begitu sukar dinarasikan dalam bentuk karya fiktif.
Kedua, adalah sebab kekakuan paradigma beragama masyarakat kita. Semestinya, untuk tempo dekat ini, persoalan itu bisi diobati. Sebab tuntutan zaman supaya saling keterbukaan untuk menghindari kebohongan dan distorsi. Sehingga sastra yang menjadikan pesantren sebagai subjeknya, tidaklah menjadi barang yang tabu. Perlu upaya Desakralisasi Agama, kata Nurcholish Madjid.
Sementara dalam point kedua, adalah point yang demikian dhohir relevansinya terhadap pesantren. Civitas pesantren, mulai dari Santri, Kyai serta Alumni, memiliki kontribusi nyata terhadap khazanah “Sastra Pesantren”.
Wujud dari kontribusi itu adalah membuminya beberapa karya sastra yang berunsur pesantren. Entah itu dalam bahasa Arab, Jawa, Indonesia dst., dsb. Unsur pesantren yang dibawa pun, tidaklah hal yang biasa. Penguasaan dalam keilmuan bahasa dan pesantren fardhu dipegang. Ilmu badi’/ilmu balaghoh, ilmu ardul, ilmu nahwu-shorof . Pegangan kuat, serta penguasaan yang mantap adakalanya akan menjadi kunci keberhasilan membuat karya “Sastra Pesantren”.
Selain itu, yang tak boleh diabaikan adalah intrepetasi dari nilai-nilai Qur’ani. Sebagai karya sastra terakbar di dunia, al-Qur’an, dalam bahasa KH. Sahal Mahfudz,[iii] tidak hanya menyimpan redaksi kata yang analitik, melainkan nilai estetik juga tersimpan dibelahan paling dalamnya. Dalam takaran ini, Tuhan sendiri mengakui bahwa dia menyintai keindahan (estetika).
“Innallaha jamiilun yuhibbul jamaal” (sesungguhnya Tuhan itu Indah dan mencintai keindahan). Yakni mencintai alam semesta, kehidupan selain bangsa Anak Adam disertai men-tadabburi fenomena sosial yang terjadi, hingga kita mengetahui adanya dinamika yang indah dari banyak segi dalam kehidupan. Multidimensional adalah paradigma yang fardhu diperhatikan sebelum bisa menghasilkan karya sastra yang gemilang. Lalu, apalagi yang diragukan dari intrepetasi nilai-nilai al-Qur’an dalam babakan “Sastra Pesantren”? Nikmat pesantren apalagi yang akan kau dustakan?. Peringatan ini supaya kita bersama-sama merenung dan berpikir.
Ala kulli hal, manifestasi atas artikulasi makna yang tersimpan dalam al-Qur’an, lalu dibedah dengan beberapa alat/ilmu pembedah—balaghoh, arudl, nahwu-shorof. Maka tidak mungkin tidak, kita akan mendapati karya sastra yang memukau. Melalui proses itu pula, KH. Moenawwir (Krapyak), KH. Ali Maksum (Krapyak), KH. Bisri Musthofa (Leteh, Rembang) dengan beberapa gubahan sya’irnya, misal yang termasyhur adalah “Tombo Ati”, KH. Ali Ahmad (Cukir, Jombang) yang dengan santun menyanjung bulan Ramadan dalam sya’irnya “Ya Ramadhan”, KHR. Asnawi (Kudus) dengan “Sholawat Asnawiyyah” yang masyhur sebagai sholawat nasionalis, dan masih banyak lagi.
Sementara itu, menurut Gus Mus, KH. Hasyim Asy’ari dan KH. Hamid Pasuruan pun mempunyai diwan atau antologi puisi. Dengan menjadi-menjadi, Gus Mus pun mengutarakan urgensi bersastra atau berpuisi bagi civitas pesantren. Ungkapan itu muncul tatkala banyak sindiran yang tertuju kepadanya sebab dia bersastra, berpuisi, aktif nulis karya sastra di koran, padahal posisinya saat itu dianggap sebagai Kyai.
Wa ba’du, mucul ungkapan “Kyai kok berpuisi !”. Gus Mus lalu meresponnya, “justru kyai-kyai yang tidak berpuisi itu aneh. Karena mulai Kanjeng Nabi sampai Kyai Hasyim Asy’ari itu berpuisi semua. Tiap hari jum’at, orang pesantren membaca puisi semua. Tapi puisinya Jakfar al-Barzanji, puisinya al-Bhusiri, puisinya ad-Diba’i, terus kenapa saya tidak bikin sendiri? Hahaha.”[iv] Bahwa sesungguhnya, Sastra di Pesantren bukanlah hal yang tabu!. Wallahu A’lam.
*) Santri eMHa Satu PP. Al-Munawwir
Endnote:
[i] Jamal D. Rahman, 2008, Sastra Pesantren dan Radikalisme Islam. Dalam https://jamaldrahman.wordpress.com/2008/10/25/sastra-pesantren-dan-radikalisme-islam/. Diakses pada 10 Juni 2016. 1.37 Wib.
[ii] Abdurrahman Wahid, Menggerakkan Tradisi; Esai-Esai Pesantren, (Lkis; Yogyakarta;2001), Hlm. 44.
[iii] K.H. M. A. Sahal Mahfudz, Nuansa Fiqh Sosial, (Yogyakarta; Lkis; 2011), Hlm. 144-146.
[iv] Majalah Hayamwuruk, Gus Mus: Kyai Tak Buat Puisi Itu Aneh. Edisi No. 1/Tahun XVIII/2008.
http://www.almunawwir.com/pesantren-berpuisi-dan-wajah-sastra-pesantren-nusantara/
Aucun commentaire:
Publier un commentaire