samedi 4 juillet 2020

Hancurnya Ekosistem Penulis?

Afrizal Malna
Kompas, 5 Juli 2020 

Tulisan ini bisa dikatakan merupakan respon atas dua tulisan Putu Fajar Arcana (“Puisi dalam Tiga Langkah”, Kompas, 24 Juni 2020, 08:03 WIB; dan “Mesin Ketik Tua Hadiah Mertua”, Kompas, 1 Juli 2020, 08:03 WIB).

Saya termasuk penulis dari “generasi mesin tik”, bagian dari ekosistem media massa cetak (koran, majalah, buku). Satu-satunya platform yang dimiliki pemerintah dalam ekosistem ini adalah Balai Pustaka, lembaga peninggalan Belanda (Commissie voor de Inlansche School en Volkslectuur “Komisi untuk Bacaan Rakyat”) yang melahirkan Poedjangga Baroe. Namun saya belum pernah sekali pun berhubungan dengan “lembaga yang diam” ini.

Dalam kondisi itu, boleh disimpulkan pemerintah membiarkan sastra bertarung sendirian dalam ekosistem pasar. Sastra bergantung pada visi jurnalisme dari masing-masing media massa cetak. Berhadapan dengan investor yang menghitung secara telanjang perbandingan jumlah pembaca puisi dan gosip tentang artis. Investasi nilai dalam arti ekonomi kreatif dibenturkan dengan naik-turunnya saham dan pemasang iklan.

Sebagai penulis yang berada dalam wilayah genting pada ekosistem media massa cetak itu, saya harus menjalinnya sebagai bagian dari ekosistem kehidupan saya. Terutama untuk memenuhi kebutuhan dasar dan biaya kontrak rumah. Saya mulai membangun jaringan dengan berbagai komunitas sastra di Jawa. Honor dari sebuah tulisan yang dimuat di Kompas, misalnya, saya gunakan untuk biaya perjalanan (dengan bis atau kereta ekonomi) ke berbagai kota, melakukan acara-acara sastra (seperti diskusi) sambil jualan buku puisi yang telah dicetak.

Sastra bergantung pada visi jurnalisme dari masing-masing media massa cetak.

Dalam sebulan, maksimal ada empat tulisan yang dimuat di berbagai media (Kompas, Sinar Harapan, Suara Pembaruan, Berita Buana, Pikiran Rakyat, Suara Merdeka, Surabaya Pos, Jawa Pos, atau majalah sastra Horison dan Basis). Untuk biaya kontrak rumah atau biaya perjalanan ke luar negeri, saya masih bisa pinjam ke Kompas atau Surabaya Pos, dan diganti dengan honor tulisan sebulan sekali dalam setahun.

Ekosistem ini menghasilkan jaringan yang aktif dan produktif. Membuat saya hampir setiap bulan berjalan ke luar kota untuk acara sastra maupun teater, juga membuat karya-karya saya memasuki pergaulan lintas budaya dan disiplin.

Saya mulai mengintegrasikan ekosistem itu ke industri budaya, di mana saya mulai membandingkan karya-karya saya dengan berbagai produk industri maupun munculnya media baru (telefon, televisi, video, mesin stensil, fotokopi, komputer maupun printer yang sudah bisa dimiliki secara pribadi). Media baru ini menjadi rujukan baru dalam berkarya.

Namun ekosistem itu rapuh. Ketika saya mulai bosan, regenerasi sastra yang berjalan tidak cukup dialektis, ekosistem itu hancur dengan sendirinya. Setelah itu kita menghadapi Abad baru dalam provokasi Revolusi Industri 4.0 dan bayangan post-truth dari teknologi big-data. Korona mempercepat sebuah “penaklukan digital” dalam masyarakat global, di mana ekosistem media massa cetak dievakuasi ke ekosistem digital.

Sebagai generasi mesin tik, menghadapi perubahan ini, sama dengan menyaksikan sebuah penguburan atas ekosistem penulis yang pernah menghidupi saya selama ini. Saya kemudian hidup seperti “penulis hantu” yang gentayangan dalam media massa yang kini berbasis online. Dan saya tidak mengetahui aturan mainnya. Saya terus menulis. Namun tidak satu pun media massa online ini yang memberi honor atas tulisan-tulisan saya, baik yang berbasis online maupun semacam majalah elektronik. Menulis jadi semacam sedekah.

Karya-karya saya kini dipegang beberapa penerbit indie di Yogyakarta, Melbourne dan di Beijing. Melbourne memiliki strategi memecah karya-karya saya masuk ke berbagai jurnal online berbahasa Inggris, sebelum utuh sebagai sebuah buku. Usaha yang membangun jaringan antara ekosistem cetak dan online, hal yang juga dilakukan oleh Beijing. Walau masih jauh dari cukup untuk hidup.

Di balik perubahan yang ekstrem itu, juga berlangsung sebuah pertemuan antara puisi dan teknologi, sama dengan pertemuan seni dan teknologi. Robot dalam bentuk aplikasi komputer, sudah bisa menulis puisi. Saya tidak asing dengan perubahan ini, karena saya mengikuti karya-karya dari era Dada maupun Fluxus.

Beberapa nama bisa disebut seperti Hugo Ball, Henri Michaux, Eugen Gomringer, Robert Filliou, Leon Ferrari, atau kini karya Herta Muller dan Mirtha Dermisache, di mana karya mereka sudah bisa dilihat sebagai tubuh-teknologi. Puisi Mirtha Dermisache, misalnya, mengambil bentuk tulisan, namun sama sekali tidak bisa dibaca. (Mirtha Dermisache, Siglio-UDP: Selected Writings. Editor: Daniel Owen & Lisa Pearson, 2017)

Saya kemudian hidup seperti “penulis hantu” yang gentayangan dalam media massa yang kini berbasis online.

Tahun 2014, saya mengikuti Maastricht Poetry Festival di Theatre La Bonbonnière (30 Oktober – 1 November 2014), Netherland. Rouke van der Hoek, salah satu kurator festival ini mengatakan bahwa ini festival terakhir. Karena setelah itu Walikota Maastricht akan lebih mendukung festival berbasis pertemuan baru antara puisi dan teknologi. Gagasan di mana Walikota dengan sadar menyiapkan platform puisi masa kini untuk menyongsong munculnya ekosistem baru berbasis teknologi.

Februari 2015, saya juga menyaksikan platform “Brain Poetry” dalam paviliun Finlandia (Frankfurt Book Fair), di mana gelombang otak kita menghasilkan puisi yang ditransfer melalui semacam teknologi neurosis ke komputer dan proyektor. Gelombang emosi otak setiap orang menghasilkan puisi yang unik. International Literature Berlin juga sudah memasukkan aplikasi komputer sebagai karya sastra dalam pameran mereka.

Platform “robotpoet” (penyair robot) kini banyak kita temukan di internet (lihat Yisela Alvarez Trentin: https://medium.com). Performance penyair-penyair robot ini memunculkan tantangan maupun pertanyaan baru untuk melihat kembali “apa arti puisi” sekarang ini. Apakah puisi masih bagian dari praktik bahasa dan sastra? Bahwa pertemuan puisi dan teknologi, sama dengan mempersoalkan kembali hubungan bahasa, tubuh, media dan teknologi.

Ekosistem generasi mesin tik mungkin telah berakhir. Sebagian usia generasi ini juga menjelang memasuki alam kematian. Mereka cukup memahami bagaimana pikiran harus berhenti, ketika kertas untuk mengetik habis dan harus mencari penggantinya. Mereka cukup memahami bahwa kata yang dicoret harus di tip-ex dan bukan di-cancel.

AFRIZAL MALNA, penyair, generasi mesin tik, tinggal di Surabaya.
https://kompas.id/baca/opini/2020/07/05/hancurnya-ekosistem-penulis/ dari grup wa kutub

Aucun commentaire:

Publier un commentaire

A. Anzieb A. Muttaqin A. Syauqi Sumbawi A.P. Edi Atmaja A.S. Laksana Abdurrahman Wahid Acep Zamzam Noor Adhie M Massardi Adin Adrizas Afrilia Afrizal Malna Afrizal Qosim Aguk Irawan MN Agus B. Harianto Agus Himawan Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agus Sunyoto Ahmad Faishal Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Jauhari Ahmadun Yosi Herfanda Aik R Hakim Akhmad Sekhu Akhudiat Akmal Nasery Basral Albert Camus Alex R. Nainggolan Amanche Franck Amien Kamil Aming Aminoedhin Ana Mustamin Andra Nur Oktaviani Andrenaline Katarsis Anindita S. Thayf Anjrah Lelono Broto Annisa Febiola Anton Wahyudi Aprinus Salam Arafat Nur Arie MP Tamba Arif Yulianto Arifi Saiman Arswendo Atmowiloto Arung Wardhana Ellhafifie Aryo Bhawono AS Dharta Asarpin Atok Witono Awalludin GD Mualif Ayesha B Kunto Wibisono Badaruddin Amir Balada Bambang Bujono Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bantar Sastra Bengawan Beni Setia Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Berita Foto Bernadette Aderi Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Boy Mihaballo Budaya Budi Darma Bustan Basir Maras Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar D. Zawawi Imron Daisy Priyanti Dareen Tatour Daru Pamungkas Dedy Tri Riyadi Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dharmadi Dhenok Kristianti Dian Sukarno Didin Tulus Dina Oktaviani Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dwi Fitria Dwi Klik Santosa E. M. Cioran Ebiet G. Ade Eddi Koben Edi AH Iyubenu Edy A Effendi Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Permadi Eko Prasetyo Enda Menzies Ernest Hemingway Erwin Setia Esai Evan Gunanzar F. Rahardi Fadllu Ainul Izzi Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Fairuzul Mumtaz Fajar Alayubi Farah Noersativa Faris Al Faisal Fatah Yasin Noor Fathoni Mahsun Fathurrozak Fauz Noor Fauzi Sukri Fazar Muhardi Feby Indirani Felix K. Nesi Franz Kafka FX Rudy Gunawan Gesang Gola Gong Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Guntur Budiawan Gus Noy Gusti Eka H.B. Jassin Hamka Hari Purwiati Haris del Hakim Hartono Harimurti Hasan Gauk Hasnan Bachtiar Henriette Marianne Katoppo Herry Lamongan HM. Nasruddin Anshoriy Ch Holy Adib Hudan Hidayat Humam S. Chudori I Nyoman Darma Putra Ida Fitri Idrus Ignas Kleden Ilung S. Enha Imam Muhayat Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Indonesia O’Galelano Indra Tjahyadi Indria Pamuhapsari Irwan Apriansyah Segara Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Zulkarnain J Anto Jadid Al Farisy Jakob Oetama Jalaluddin Rakhmat Jamal T. Suryanata James Joyce Januardi Husin Jemi Batin Tikal Jo Batara Surya Johan Fabricius John H. McGlynn John Halmahera Jordaidan Rizsyah Juan Kromen Judyane Koz Junaidi Khab Jurnal Kebudayaan The Sandour Jusuf AN K.H. M. Najib Muhammad Kadjie Mudzakir Kahfie Nazaruddin Kamran Dikarma Kedung Darma Romansha KH. Ahmad Musthofa Bisri Khansa Arifah Adila Khoirul Anam Khulda Rahmatia Kiki Sulistyo Komunitas Sastra Mangkubumen Komunitas-komunitas Teater di Lamongan Kurniawan Kurniawan Junaedhie Kuswaidi Syafi’ie Lagu Laksmi Shitaresmi Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lely Yuana Leo Tolstoy Linda Christanty Linda Sarmili Lutfi Mardiansyah M Zaid Wahyudi M. Adnan Amal M’Shoe Maghfur Munif Mahamuda Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Maman S. Mahayana Maratushsholihah Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Magdalena Bhoernomo Mariana Amiruddin Mario F. Lawi Maroeli Simbolon Martin Aleida Mashdar Zainal Mashuri Mbah Kalbakal Melani Budianta Mochtar Lubis Moh. Dzunnurrain Mohammad Bakir Mohammad Kasim Mohammad Tabrani Muhammad Ali Muhammad Idrus Djoge Muhammad Muhibbuddin Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhidin M. Dahlan Mukhsin Amar Mulyo Sunyoto Munawir Aziz Musafir Isfanhari Mustain Myra Sidharta N. Syamsuddin CH. Haesy Naim Nanda Alifya Rahmah Nara Ahirullah Naskah Teater Naufal Ridhwan Aly Nawangsari Nezar Patria Niduparas Erlang Nikita Mirzani Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nur Wahida Idris Nurel Javissyarqi Observasi Ocehan Pameran Lukisan Panggung Teater Pentigraf Performance Art Pondok Pesantren Al-Madienah Pramoedya Ananta Toer Pramono Pringgo HR Prosa Pudyo Saptono Puisi Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Puthut EA Putu Wijaya R. Toto Sugiharto Raedu Basha Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Prambudhi Dikimara Ratih Kumala Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Reko Alum Remy Sylado Resensi Reza Aulia Fahmi Ribut Wijoto Rikardo Padlika Gumelar Riki Dhamparan Putra Risang Anom Pujayanto Riska Nur Fitriyani Rofiqi Hasan Rokhim Sarkadek Roland Barthes Rony Agustinus Rosdiansyah Rozi Kembara Rx King Motor S Yoga S. Arimba S. Jai Sabda Armandio Sabine Mueller Sabine Müller Sabrank Suparno Saiful Amin Ghofur Sajak Samir Amin Samsudin Adlawi Samsul Anam Sapardi Djoko Damono Sasti Gotama Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Selendang Sulaiman Seno Gumira Ajidarma Shinta Maharani Sholihul Huda Sidik Nugroho Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sofyan RH. Zaid Sohifur Ridho’i Soni Farid Maulana Sosiawan Leak Sri Pudyastuti Baumeister Sugito Ha Es Sumani Sumargono SN Sunan Bonang Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Suripno Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutrisno Budiharto Sutrisno Buyil Syarif Hidayat Santoso T Agus Khaidir T.N Angkasa T.S. Eliot Tatan Daniel Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater ESKA Teater Pendopo nDalem Mangkubumen Teater Tawon Tedy Kartyadi Teguh Winarsho AS Teks Lagu Keroncong Bengawan Solo Tirto Suwondo Tito Sianipar Tiya Hapitiawati Tjahjono Widijanto Tjoet Nyak Dhien Toeti Heraty Toto Sudarto Bachtiar Tujuh Bukit Kapur Udin Badruddin Umbu Landu Paranggi Undri Uwell's King Shop Uwell's Setiawan Vitalia Tata W Haryanto W.S. Rendra Wahyu Hidayat Wahyudi Akmaliah Muhammad Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Jengki Sunarta Welly Kuswanto Wulansary Yasunari Kawabata Yeni Mulyani Yetti A. KA Yohanes Sehandi Yonathan Rahardjo Yudha Kristiawan Yudhistira ANM Massardi Yukio Mishima Yusri Fajar Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zehan Zareez Zuhdi Swt Zuhkhriyan Zakaria