Pos Kupang, 3 Nov 2010
SEBAGAI penulis pemula yang sering mengisi kolom imajinasi Pos Kupang, kami memberikan apresiasi yang setinggi-tingginya atas kemauan Saudara Yohanes Sehandi untuk memperhatikan keberadaan kami di tengah minimnya apresiasi akan karya-karya sastra koran NTT lewat kedua opininya (Membaca Cerpen Pos Kupang, PK 1/7/2010) dan (Mencari Latar NTT dalam Cerpen PK, 21/10/2010). Dengan adanya perhatian ini, kami merasa sedikit terhibur karena masih ada geliat yang ditimbulkan oleh cerpen-cerpen kami yang biasa mengisi kolom imajinasi Pos Kupang.
Kedua opini beliau pada dasarnya mengandung esensi yang sama, yakni menyoroti latar NTT pada cerpen-cerpen Pos Kupang. Dan dari sinilah benang kusut ambiguitas yang Yan Sehandi mulai dalam catatan-catatannya. Di sini kami mencoba meluruskan dengan pemikiran kami yang masih belia dalam ranah kepenulisan dan sastra. Dalam opini pertamanya, Yan Sehandi menuliskan bahwa catatan-catatan (yang dimuat sebagai opini oleh Pos Kupang) terdorong oleh pengalaman batinnya yang terbiasa membaca cerpen-cerpen serius berbobot sastra karya para cerpenis Indonesia, baik lewat buku antologi cerpen maupun lewat majalah dan surat kabar. Dan hasil penilaian ini tidak terlepas dari 'selera seni' pribadi sehingga bisa saja unsur subyektif dan obyektif berhimpitan dalam penilaian, apalagi obyek yang dibidik adalah sebuah karya sastra yang merupakan hasil imajinasi pengarangnya.
Berdasarkan pernyataan yang dibangunnya sendiri, tentunya Yan Sehandi dengan sadar menempatkan diri sebagai orang yang berpengalaman dalam mengupas kulit kekurangan dan kelebihan dalam sekujur tubuh cerpen-cerpen yang biasa menghiasi kolom imajinasi Pos Kupang. Namun sayangnya, pernyataan tersebut langsung dihancurkan sendiri dengan berbagai argumentasi yang melemahkan berbagai bentuk cerpen yang tidak sesuai dengan kriteria yang diinginkannya (latar belakang NTT).
Latar belakang itu, menurutnya, merupakan cikal-bakal persaingan para sastrawan NTT di ranah kepenulisan nasional seperti yang telah dilakukan Gerson Poyk dan Julius Sijaranamual. Namun argumentasi tersebut dibangun tanpa mempertimbangkan kepemulaan para cerpenis Pos Kupang dan ciri khas serta gaya bercerita dari masing-masing cerpenis. Padahal ciri khas dan gaya bercerita itu penting sebagai dasar penentuan 'rumah estetis' yang merupakan karakter pembeda antara seorang cerpenis dengan cerpenis lainnya.
Lebih parah lagi, Yan Sehandi menguliti empat cerpen berwarna surealis yang pernah dimuat Pos Kupang (Ketika Kelam Mendekam dalam Rahim Negeri Kami; Cinta dan Perempuan; Sekuntum Mawar di Taman Rumah Kami; Aku dan Rumahku) dengan pisau kesemena-menaan subyektif dan arogansi, hanya berdasarkan kenaifannya akan penafsiran pengertian 'latar' dalam sebuah cerpen. Padahal sebuah karya sastra dianggap berhasil ketika ia sukses menyembunyikan fakta ke dalam fiksi. Dan salah satu cara untuk menyembunyikan fakta ke dalam fiksi adalah dengan memperluas cakupan tema tanpa berpatokan pada latar-latar tertentu. Dengan menekankan lokalitas pada latar-latar cerpen Pos Kupang, secara sadar Yan Sehandi sebenarnya sedang mengarahkan semua cerpenis Pos Kupang pada umumnya, terutama cerpenis-cerpenis yang disinggungnya untuk masuk ke dalam 'rumah estetis' yang dibangunnya hanya berlandaskan fondasi latar lokal.
Yan Sehandi juga tidak mempertimbangkan aspek-aspek penting lainnya dalam sebuah cerpen hingga menyentuh kedalaman karya itu sendiri. Dengan pengarahan pada latar lokal tertentu, pohon-pohon heterogenitas/keberagaman yang sedang bersitumbuh dalam cerpen-cerpen imajinasi Pos Kupang secara perlahan-lahan dipangkas untuk digantikan dengan tanaman-tanaman sastra berlatar homogen. Jika menilik dari penilaian beliau akan keempat cerpen di atas, maka tidak layaklah cerpen surealis Agus Noor Piknik mendapatkan Anugerah Kebudayaan 2006 Departemen Seni. Atau yang paling terakhir adalah cerpen terbaik pada Cerpen Kompas Pilihan 2009, Pada Suatu Hari, Ada Ibu dan Radian karya Avianti Armand. Cerpen ini justru tidak unggul karena latarnya tetapi pada penggalian persoalan yang intensif dan fokus pada masalah rumah tangga sambil membentuk pengucapan yang sesuai karakter. Maka sejatinya, keberhasilan sebuah cerpen tidak terletak pada latar semata, apalagi hanya latar lokal.
Kasus kritik sastra yang tidak dalam juga pernah dialami oleh seorang cerpenis Indonesia. Misalnya ulasan Is Mujiarso terhadap antologi cerpen Perempuan Bersampan Cadik karya Satmoko Budi Santoso di ruang APRESIASI www.sriti.com. Is Mujiarso lewat esai pendeknya menggeneralisir karya Satmoko Budi sebagai cerpen kelas dua. Is juga tidak memberikan ukuran atau parameter sastra kelas satu. Juga tidak memperinci kriteria-kriteria karya sastra kelas satu (Baca buku Damhuri Muhammad, Darah Daging Sastra Indonesia, Yogyakarta: Jalasutra).
Kini Yan Sehandi yang menahbiskan diri sebagai pengamat bahasa dan sastra Indonesia mengklaim, bahkan memvonis beberapa karya cerpen sebagai karya yang tak layak disebut cerpen, tanpa memberikan patokan yang jelas tentang kriteria-kriteria cerpen yang berbobot terlepas dari latar lokal yang menjadi perspektif penilaiannya. Apalagi Yan Sehandi hanya menekankan pada kejelasan latar. Mungkin benar ada beberapa cerpen yang dikatakannya sebagai cerpen dengan latar tidak jelas. Namun sangat cepat bila Yan Sehandi mengatakan bahwa cerpen-cerpen itu tak layak disebut cerpen hanya karena tidak kuat dalam penggambaran latar atau bahkan hal ini disebabkan oleh ketidakmampuan Yan Sehandi sendiri dalam menentukan latar-latar yang terkandung dalam cerpen-cerpen tersebut.
Romo Mudji Sutrisno, SJ dalam Kompas 24 April 2005 juga mencemaskan beberapa pengamat sastra Indonesia yang cepat memyembelih teks sastra dengan pisau arogansi tanpa masuk pada kedalaman isi pesan setiap karya. Dan, hemat kami, Yan Sehandi sedang melakukannya juga untuk kami cerpenis-cerpenis pemula NTT. Yan Sehandi juga sebenarnya tidak adil dalam membahas karya-karya kami. Walaupun karya-karya itu sederhana, belasan cerpen kami tidak bisa hanya dibahas dalam satu lembaran opini. Kami sebenarnya tidak mempermasalahkan jumlah cerpen yang beliau bahas dalam tulisannya. Tapi, dalam kenyataannya, Yan Sehandi tidak mampu membeberkan kelebihan-kelebihan lain dari cerpen-cerpen yang ditelusurinya sehingga penilaian yang dilakukan bisa berlangsung secara lebih obyektif. Dan memang tidaklah mungkin 19 belas cerpen dapat diulas secara baik dan obyektif hanya dalam sebuah kolom opini Pos Kupang yang terbatas.
Memang benar, berbicara soal selera merupakan hal yang relatif. Namun, di era keterbukaan berpikir seperti ini, kehendak tidak boleh dipaksakan dengan pembenaran-pembenaran sepihak dan menjerumuskan pihak lain tanpa menyentuh akar permasalahan secara keseluruhan. Di satu sisi secara langsung Yan Sehandi telah 'membunuh' kreativitas dan imajinasi beberapa cerpenis pemula. Padahal, patut disadari bahwa di tengah keterbatasan kolom imajinasi Pos Kupang, para cerpenis pemula telah berusaha menampilkan karya-karya terbaik mereka. Maka tidak adil bila karya mereka hanya diulas secara picisan dan tidak mendalam di tengah keterbatasan kolom opini.
Mungkin karya-karya cerpen di Pos Kupang masih jauh dari harapan peminat sastra NTT seperti Yan Sehandi karena tidak berlatar lokal NTT. Namun kita juga tidak boleh memaksakan selera lokal pada setiap cerpenis, apalagi cerpenis pemula. Pemaksaan lokalitas ke dalam karya cerpen sebenarnya merupakan sebuah pemaksaan selera. Coba bayangkan kalau semua cerpenis kita melahirkan cerpen-cerpen yang hanya melulu berwarna lokal. Bisa jadi keragaman tema akan sulit memperkaya ruang imajinasi Pos Kupang lantaran orang hanya mencari lokalitas NTT. Padahal banyak cerpenis pemula yang tidak berangkat dari kekayaan lokal. Mereka justru mengangkat kesederhanaan-kesederhanaan yang ada di sekitar mereka dalam bahasa dan gaya ungkap imajinasi. Kita mungkin hanya bisa memacu lokalitas dengan memberi anjuran bagi mereka, sambil juga memberi contoh karya yang baik. Mengkritik karya cerpen Pos Kupang yang katanya miskin lokalitas harus disesuaikan pada tempat dan situasinya. Saudara Yan Sehandi telah berusaha mengritik para cerpenis pemula dengan membeberkan di mimbar opini Pos Kupang. Harapan kami, Yan Sehandi juga perlu menggunakan kriteria-kriteria yang berimbang dalam membahas sebuah karya sastra, tanpa jatuh pada mental klaim atau stigma dengan menihilkan peran unsur-unsur lain dalam sebuah cerpen.
Sebagai cerpenis pemula kami sebenarnya lebih membutuhkan sebuah kritik yang lebih berimbang, sehat, dan berkompeten demi kemajuan karya-karya kami. Kami juga lebih membutuhkan kritik yang lebih berbobot sastrawi, tanpa ada ketimpangan dan kecenderungan pada kriteria-kriteria sepihak. Tanpa mengabaikan apresiasi dari Saudara Yan Sehandi, kami juga butuh kritik dan masukan sastra dari para sastrawan atau sastrawati yang namanya diakui di jagat sastra nasional, seperti Ibu Maria Matildis Banda, Ibu Mezra Pellondou, atau setidaknya Bapak Marsel Robot. Semoga tulisan ini membantu kita untuk saling terbuka dan saling memotivasi secara positif, terlebih untuk mengembangkan kekayaan sastra pemula NTT. Salam Sastra NTT.
***
https://kupang.tribunnews.com/2010/11/03/ciri-khas-bercerita--dan-lokalitas-latar
Aucun commentaire:
Publier un commentaire