Terj: Lutfi Mardiansyah **
MENGAPA kita tidak bisa tetap tertutup di dalam diri kita sendiri? Mengapa kita mengejar-ngejar bentuk dan ungkapan, berupaya menyampaikan kepada diri kita sendiri sesuatu yang berharga atau “bermakna” dari diri kita, dengan putus asa mencoba menata seperti apa sesuatu itu semestinya setelah segala proses perlawanan dan kekacauan? Bukankah akan lebih kreatif dengan menyerahkan saja sesuatu itu pada ketidakstabilan jiwa kita tanpa berniat merealisasikannya, tenggelam secara intim dan mesra di dalam kekacauan jiwa kita sendiri dan bertahan di dalamnya? Kemudian akan kita rasakan, dengan intensitas yang jauh lebih melimpah, seluruh jiwa kita tumbuh dalam suatu pengalaman spiritual. Segala jenis pengetahuan akan bercampur-baur dan berkembang dalam gelembung yang melimpah. Sensasi aktualitas dan makna spiritual akan lahir, seperti timbulnya sebuah gelombang atau suatu ekspresi musikal. Menjadi utuh di dalam diri yang satu, bukan dalam perasaan penuh kepuasan, melainkan dalam perasaan keberlimpahan, tersiksa oleh perasaan jiwa yang tak terhingga, berarti bahwa intensitas terbesar dalam menjalani kehidupan terletak pada kesadaran sesungguhnya kau merasa nyaris mati di dalam kehidupan. Perasaan seperti itu amat sangat langka dan aneh rasanya bahwa kita akan melewati perasaan semacam itu dengan sorak-tempik penuh teriak. Aku merasa bisa mati di dalam kehidupan, dan aku bertanya-tanya kepada diriku sendiri apakah masuk akal mencari penjelasan untuk hal itu. Ketika seluruh spiritualitasmu di masa lalu bergetar di dalam dirimu dengan guncangan yang begitu dahsyat, ketika suatu perasaan akan kehadiran yang total membangkitkan pengalaman-pengalaman yang telah lama terkubur dan karenanya kau kehilangan ritme hidupmu yang normal, kemudian, dari puncak kehidupan, kau direnggut oleh kematian tanpa rasa takut yang biasanya menyertai hal tersebut. Ini adalah perasaan yang sama dengan yang dialami oleh para pecinta di puncak kebahagiaan mereka, ketika mereka melewatkan segala sesuatu kecuali intensitas dari isyarat kematian atau ketika firasat mengenai suatu pengkhianatan membayangi cinta mereka yang tengah bertunas.
Hanya sedikit yang bisa bertahan hingga akhir dengan pengalaman-pengalaman seperti itu. Selalu terdapat bahaya serius ketika kita menekankan suatu hal yang membutuhkan objektifikasi, menguncinya dari suatu ledakan energi, sebab akan tiba waktunya ketika seseorang tidak bisa menahan kekuatan yang luar biasa seperti itu. Lantas kejatuhan terjadi karena kondisi keberlimpahan itu sendiri yang terlampau penuh. Ada pengalaman-pengalaman dan obsesi yang tak bisa ditanggung oleh seseorang. Keselamatan terletak pada tindakan mengakui hal-hal tersebut. Pengalaman menakutkan terhadap kematian, ketika dipelihara di dalam kesadaran, akan menyebabkan kehancuran. Jika kau bicara tentang kematian, kau telah menyelamatkan suatu bagian dari dirimu. Tetapi pada saat yang sama, sesuatu di dalam dirimu-yang-sebenarnya itu mati, sebab makna objektifikasi kehilangan aktualitasnya di dalam kesadaran. Inilah sebabnya mengapa perasaan lirikal merepresentasikan suatu penyebaran subjektivitas; hal itu merupakan kuantitas tertentu dari buih-buih spiritual individu yang tak tertampung dan membutuhkan ungkapan yang konstan. Untuk mendapatkan perasaan lirikal, kau tidak bisa tetap tertutup di dalam dirimu sendiri. Kebutuhan untuk mengeksternalisasikan sesuatu menjadi lebih intens, lirikalitas yang berkembang lebih jauh memuat sifat-sifat interior, mendalam, dan terkonsentrasi. Mengapa seseorang yang menderita atau mencinta selalu memiliki perasaan lirikal? Sebab keadaan-keadaan tersebut, meskipun berbeda secara alamiah dan orientasinya, timbul dari bagian keberadaan kita yang paling dalam dan paling intim, berasal dari pusat terbesar subjektivitas, serupa zona radiasi. Seseorang mencapai perasaan lirikal ketika kehidupannya berdenyut mengikuti irama esensial dan pengalaman-pengalamannya terasa begitu kuat hingga perasaan itu menyatu dalam suatu keutuhan makna dari kepribadian tunggal seseorang. Apa yang unik dan spesifik di dalam diri kita adalah kesadaran yang timbul kemudian dalam bentuk yang begitu ekspresif sehingga yang individual naik pada tingkatan yang universal. Pengalaman-pengalaman subjektif paling mendalam juga merupakan pengalaman-pengalaman paling universal, sebab melalui pengalaman subjektif inilah terdapat jalan untuk mencapai sumber kehidupan yang asali. Bagian interior yang sebenarnya inilah yang mengarah pada universalitas yang tak terakses oleh orang-orang yang tetap berada di tepian batas terluar. Interpretasi vulgar terhadap universalitas menyebut hal itu sebagai fenomena ekspansi kuantitatif alih-alih akumulasi kekayaan kualitatif. Interpretasi semacam itu memandang perasaan lirikal sebagai fenomena yang bersifat periferal dan inferior, suatu hasil dari inkonsistensi spiritual, yang gagal memahami bahwa sumber dari perasaan lirikal yang subjektif menunjukkan ketenangan dan kedalaman yang luar biasa. Ada orang-orang yang mengalami perasaan lirikal hanya pada momen-momen krusial dalam hidup mereka; beberapa hanya pada saat pergolakan menjelang kematian, ketika seluruh masa lalu mereka serta-merta muncul di hadapan mereka dan menghantam mereka dengan daya deras sebuah air terjun. Kebanyakan orang memperoleh perasaan lirikal setelah secara kentara mengalami suatu pengalaman kritis, ketika gejolak jiwa mereka mencapai huru-hara yang amat dahsyat. Dengan demikian orang-orang yang biasanya cenderung mengarah pada objektivitas dan impersonalitas, menjadi orang asing baik terhadap diri mereka sendiri maupun terhadap realitas, segera setelah mereka menjadi tawanan cinta, suatu perasaan terkait pengalaman yang mengaktualisasikan seluruh sumber kepribadian dirinya. Fakta bahwa hampir semua orang menulis puisi ketika sedang jatuh cinta membuktikan bahwa sumber pemikiran konseptual terlalu rudin untuk mengekspresikan ketakterbatasan jiwa mereka; lirikalitas batiniah menemukan objektifikasi yang memadai hanya melalui material yang tidak stabil dan irasional. Pengalaman terhadap penderitaan adalah kasus yang serupa. Kau takkan pernah menduga apa yang tersembunyi di dalam dirimu sendiri dan di dalam dunia ini, kau menjalani hidup dengan penuh kepuasan di tepian batas terluar dari segala sesuatu, ketika tiba-tiba perasaan terhadap penderitaan yang hanya tinggal beberapa saat lagi menuju kematiannya sendiri mencengkerammu dan membawamu ke suatu wilayah dengan kompleksitas yang tak terbatas, di mana subjektivitasmu terombang-ambing di tengah pusaran air. Perasaan lirikal yang disebabkan oleh penderitaan merupakan suatu pencapaian dari pemurnian jiwa di mana luka tak lagi menjadi manifestasi luar semata tanpa memiliki kompleksitas yang mendalam dan mulai ambil bagian di dalam esensi dari keberadaanmu. Perasaan lirikal yang disebabkan oleh penderitaan merupakan senandung dari darah, daging, dan urat saraf. Penderitaan yang sesungguhnya dimulai dari rasa sakit. Hampir semua penyakit memiliki kebijaksanaan lirikal. Hanya mereka yang hidup seperti tumbuh-tumbuhan (hidup tanpa guna) dalam ketakpekaan yang memalukan akan tetap impersonal ketika merasa sakit, dan dengan demikian kehilangan kedalaman dari kepribadian yang dibawa serta oleh rasa sakit tersebut. Seseorang takkan mencapai perasaan lirikal kecuali telah mengalami penderitaan fisik yang total. Perasaan lirikal yang tak disengaja bersumber pada faktor-faktor eksternal; setelah faktor-faktor tersebut menghilang, korespondensi jiwa mereka pun menghilang. Tak ada lirikalitas yang otentik tanpa sebutir kegilaan interior. Penting untuk diketahui bahwa awal dari segala psikosis mental ditandai oleh fase lirikal di mana segala hambatan yang lazim dan terbatas menghilang, seraya memberi jalan pada suatu kemabukan batiniah yang paling subur dan kreatif. Hal ini menjelaskan karakteristik dari produktivitas puitik pada fase pertama psikosis. Akibatnya, kegilaan dapat dilihat sebagai suatu serangan tiba-tiba dari perasaan lirikal. Untuk alasan ini, karenanya kita menjadi lebih senang menulis bentuk-bentuk pujian terhadap perasaan lirikal alih-alih pujian terhadap kepicikan. Tahap lirikal adalah tahap yang melampaui bentuk dan sistem. Suatu ketidakstabilan yang serta-merta melarutkan seluruh elemen kehidupan batin kita dalam satu gerak menukik, kemudian menciptakan irama yang utuh dan intens, suatu konvergensi yang ideal. Dibandingkan dengan budaya eufemisme dalam bentuk dan bingkai sklerosis, yang menyelubungi segala sesuatu, modus lirikal sepenuhnya barbar dalam berekspresi. Esensi lirikal lebih tepat terletak pada kualitas keliarannya: lirikalitas semata-mata adalah darah, ketulusan, dan api yang membakar.
***
_________________
*) Aforisma pertama dari buku “On the Heights of Despair” (1934) karya E. M. Cioran.
**) Lutfi Mardiansyah, lahir di Sukabumi, 4 Juli 1991. Menulis puisi dan prosa, serta menerjemahkan karya-karya sastra. http://sastra-indonesia.com/2020/09/tentang-perasaan-lirikal/
Aucun commentaire:
Publier un commentaire