vendredi 15 janvier 2021

Teater Populer Mencoba Menghibur di Antara Kepalsuan Hidup

Doddi Ahmad Fauji *
Media Indonesia 07/12/2004
 
Adakah seorang penyair identik dengan si pemberontak? Adakah si perajut kata itu –sekalipun ia seorang hipokrit– dapat menjadi personifikasi dari si penguak kemunafikan? Kita bisa saja setuju, tapi boleh juga ragu.
 
Yang jelas, dalam lakon Julieus Caesar-nya Shakespeare, penyair itu diibaratkan duri dalam daging yang harus segera dicabut. Tidak mematikan memang, tetapi menyakitkan bila dibiarkan. Maka Caesar pun bertanya, ”Siapa kamu?” “Saya penyair!” ”Negara tidak membutuhkan penyair. Gantung dia!” Dan penyair itu pun diseret ke tiang gantungan. Dan di masa Orde Baru, si Burung Merak menjadi simbol dari perlawanan. Dan pada pertunjukan Pakaian dan Kepalsuan (PdK) oleh Teater Populer, pembacaan puisi Chairil Anwar bertajuk Sia-sia pun menjadi pembuka tontonan.
 
Untuk lebih menegaskan bahwa penyair dalam lakon PdK adalah orang-orang kritis yang dengan berani membongkar hipokrisi, ditampilkan wajah almarhum Munir dengan menggunakan alat proyektor. Wajah Munir tampil di bagian awal dan akhir pertunjukan.
 
Ambiguitas itu terlihat pula pada pertunjukan PdK yang disutradari aktor Slamet Rahardjo Djarot, di Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki, Kamis (2/12) malam kemarin.
 
Pada babak-babak awal, diperlihatkan, si penyair itu (dimainkan oleh Alex Komang) ternyata ‘demen’ juga kepada si penjaja seks komersial (Ria Probo). Tetapi di pertengahan pertunjukan hingga akhir, si penyair itu dikisahkan menyerupai seorang santo. Ia tidak betah melihat kemunafikan orang-orang yang mengaku diri sebagai veteran perang kemerdekaan, yang menikmati hari tua sebagai orang sukses.
 
Ke sebuah rumah makan Bakmie Djawa/Stup Alpuket, berkunjunglah para pembohong itu, yaitu Abu, pejabat tinggi di sebuah kementerian (Slamet Rahardjo Djarot), Samsu, saudagar kaya (Muhammad Sunjaya), Sumantri, calon duta besar (Eric MF Dayoh) dan istrinya (Niniek L Karim). Di warung itu telah hadir lebih awal pengunjung setia, Hamid (Alex Komang) dan Rustam (Andi Bersama). Berkisahlah mereka mengenai masa-masa di saat mereka berjuang mengusir penjajah. Kisah mereka begitu heroik, dan pantaslah kalau kini bisa menikmati hidup.
 
Di meja yang lain, penyair dan temannya yang sedang main catur, merasa terganggu oleh bualan-bualan mereka. Akhirnya penyair mendatangi meja mereka, dan mengatakan supaya mereka jangan membual, dan sebaiknya segera mengakui diri mereka yang sesungguhnya.
 
Orang-orang itu tersinggung dan melecehkan penyair. Di luar dugaan, penyair mengeluarkan pistol kuno yang tidak berpeluru, dan menodongkannya ke mereka. Kini mereka dipaksa mengakui eksistensi yang sesungguhnya.
 
Lakon PdK sering dimainkan oleh berbagai kelompok teater di seluruh Tanah Air, termasuk kelompok teater mahasiswa. Tiap kelompok tentu memiliki interpretasi dan memperlakukan lakon PdK dengan beragam. Sebab pertunjukan Teater Populer ini digelar dalam rangka festival Panggung Teater Realis Indonesia yang diselenggarakan Komite Teater Dewan Kesenian Jakarta pada 26 November hingga 2 Desember, tentu Slamet Rahardjo memanggungkan PdK dalam corak realis.
 
Pada sepekan festival teater realis itu, pertunjukan Teater Populer adalah yang paling berhasil memberikan pencerahan sekaligus menghibur penonton. Teater Populer berhasil meyakinkan penonton, bahwa ada pesona dalam pertunjukan teater yang bercorak realis. Ada gereget yang menggetarkan, ada hiburan yang menggelitik.
 
Semua itu, tentu saja, lahir dari suatu keterampilan akting para aktor Teater Populer dalam PdK yang bisa dikategorikan telah sampai pada tingkat kewajaran berperan dengan takaran yang pas.
 
Boleh disebut, semua aktor bermain dengan sangat wajar. Tidak indikatif, juga tidak artifisial. Walau kita tahu teater adalah sandiwara, tetapi para aktor itu seperti sedang menjalani kehidupan yang sesungguhnya.
 
Pada pertunjukan PdK itulah tampak kematangan para aktor. Teater Populer dikenal sebagai grup yang berkiblat pada jenis komedian. Tetapi di atas panggung, mereka tidak berkomedi. Mereka benar-benar berteater. Sehingga respons penonton dalam bentuk aplaus maupun tawa yang membuncah, tidak membuat mereka lantas lupa diri, dan kemudian melakukan improvisasi untuk menonjolkan diri, hal yang sering dilakukan oleh aktor-aktor komedian yang belum matang.
 
Kalaupun ada yang mengganggu pada pertunjukan PdK itu, adalah akting Alex Komang yang kurang intens di bagian pertengahan. Pada saat membuka pertunjukan, akting Alex begitu meyakinkan dan realistis. tetapi saat menggenggam pistol dan menodong para pembohong, akting Alex terlihat mengendur. Bahkan cara dia menggenggam pistol kurang meyakinkan. Alex memperlakukan pistol itu seperti mainan, bukan sebuah benda yang bisa mencabut nyawa. Sehingga, kalau pistol itu digantikan dengan mainan yoyo dan diandaikan sebagai pistol, rasanya tidak terjadi perbendaan.
 
Setelah hampir 10 tahun tidak tampil di panggung, kemampuan Teater Populer ternyata tidak melorot. Penonton GBB pun penuh, hingga harus ada yang lesehan hingga tiga baris di bagian depan panggung. Seandainya semua pertunjukan teater di TIM memiliki kualitas standar seperti Teater Populer yang dikenal banyak mencetak aktor film handal, tentu dunia teater dan film di Tanah Air akan lain ceritanya. Sayangnya, kita baru bisa berandai-andai.
***

*) Doddi Ahmad Fauji, penulis buku Menghidupkan Ruh Puisi, Sastrawan Angkatan 2000 versi Korrie Layun Rampan, dan mantan redaktur sastra Koran Media Indonesia (1999 – 2001). http://sastra-indonesia.com/2020/09/teater-populer-mencoba-menghibur-di-antara-kepalsuan-hidup/

Aucun commentaire:

Publier un commentaire

A. Anzieb A. Muttaqin A. Syauqi Sumbawi A.P. Edi Atmaja A.S. Laksana Abdurrahman Wahid Acep Zamzam Noor Adhie M Massardi Adin Adrizas Afrilia Afrizal Malna Afrizal Qosim Aguk Irawan MN Agus B. Harianto Agus Himawan Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agus Sunyoto Ahmad Faishal Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Jauhari Ahmadun Yosi Herfanda Aik R Hakim Akhmad Sekhu Akhudiat Akmal Nasery Basral Albert Camus Alex R. Nainggolan Amanche Franck Amien Kamil Aming Aminoedhin Ana Mustamin Andra Nur Oktaviani Andrenaline Katarsis Anindita S. Thayf Anjrah Lelono Broto Annisa Febiola Anton Wahyudi Aprinus Salam Arafat Nur Arie MP Tamba Arif Yulianto Arifi Saiman Arswendo Atmowiloto Arung Wardhana Ellhafifie Aryo Bhawono AS Dharta Asarpin Atok Witono Awalludin GD Mualif Ayesha B Kunto Wibisono Badaruddin Amir Balada Bambang Bujono Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bantar Sastra Bengawan Beni Setia Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Berita Foto Bernadette Aderi Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Boy Mihaballo Budaya Budi Darma Bustan Basir Maras Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar D. Zawawi Imron Daisy Priyanti Dareen Tatour Daru Pamungkas Dedy Tri Riyadi Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dharmadi Dhenok Kristianti Dian Sukarno Didin Tulus Dina Oktaviani Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dwi Fitria Dwi Klik Santosa E. M. Cioran Ebiet G. Ade Eddi Koben Edi AH Iyubenu Edy A Effendi Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Permadi Eko Prasetyo Enda Menzies Ernest Hemingway Erwin Setia Esai Evan Gunanzar F. Rahardi Fadllu Ainul Izzi Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Fairuzul Mumtaz Fajar Alayubi Farah Noersativa Faris Al Faisal Fatah Yasin Noor Fathoni Mahsun Fathurrozak Fauz Noor Fauzi Sukri Fazar Muhardi Feby Indirani Felix K. Nesi Franz Kafka FX Rudy Gunawan Gesang Gola Gong Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Guntur Budiawan Gus Noy Gusti Eka H.B. Jassin Hamka Hari Purwiati Haris del Hakim Hartono Harimurti Hasan Gauk Hasnan Bachtiar Henriette Marianne Katoppo Herry Lamongan HM. Nasruddin Anshoriy Ch Holy Adib Hudan Hidayat Humam S. Chudori I Nyoman Darma Putra Ida Fitri Idrus Ignas Kleden Ilung S. Enha Imam Muhayat Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Indonesia O’Galelano Indra Tjahyadi Indria Pamuhapsari Irwan Apriansyah Segara Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Zulkarnain J Anto Jadid Al Farisy Jakob Oetama Jalaluddin Rakhmat Jamal T. Suryanata James Joyce Januardi Husin Jemi Batin Tikal Jo Batara Surya Johan Fabricius John H. McGlynn John Halmahera Jordaidan Rizsyah Juan Kromen Judyane Koz Junaidi Khab Jurnal Kebudayaan The Sandour Jusuf AN K.H. M. Najib Muhammad Kadjie Mudzakir Kahfie Nazaruddin Kamran Dikarma Kedung Darma Romansha KH. Ahmad Musthofa Bisri Khansa Arifah Adila Khoirul Anam Khulda Rahmatia Kiki Sulistyo Komunitas Sastra Mangkubumen Komunitas-komunitas Teater di Lamongan Kurniawan Kurniawan Junaedhie Kuswaidi Syafi’ie Lagu Laksmi Shitaresmi Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lely Yuana Leo Tolstoy Linda Christanty Linda Sarmili Lutfi Mardiansyah M Zaid Wahyudi M. Adnan Amal M’Shoe Maghfur Munif Mahamuda Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Maman S. Mahayana Maratushsholihah Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Magdalena Bhoernomo Mariana Amiruddin Mario F. Lawi Maroeli Simbolon Martin Aleida Mashdar Zainal Mashuri Mbah Kalbakal Melani Budianta Mochtar Lubis Moh. Dzunnurrain Mohammad Bakir Mohammad Kasim Mohammad Tabrani Muhammad Ali Muhammad Idrus Djoge Muhammad Muhibbuddin Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhidin M. Dahlan Mukhsin Amar Mulyo Sunyoto Munawir Aziz Musafir Isfanhari Mustain Myra Sidharta N. Syamsuddin CH. Haesy Naim Nanda Alifya Rahmah Nara Ahirullah Naskah Teater Naufal Ridhwan Aly Nawangsari Nezar Patria Niduparas Erlang Nikita Mirzani Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nur Wahida Idris Nurel Javissyarqi Observasi Ocehan Pameran Lukisan Panggung Teater Pentigraf Performance Art Pondok Pesantren Al-Madienah Pramoedya Ananta Toer Pramono Pringgo HR Prosa Pudyo Saptono Puisi Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Puthut EA Putu Wijaya R. Toto Sugiharto Raedu Basha Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Prambudhi Dikimara Ratih Kumala Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Reko Alum Remy Sylado Resensi Reza Aulia Fahmi Ribut Wijoto Rikardo Padlika Gumelar Riki Dhamparan Putra Risang Anom Pujayanto Riska Nur Fitriyani Rofiqi Hasan Rokhim Sarkadek Roland Barthes Rony Agustinus Rosdiansyah Rozi Kembara Rx King Motor S Yoga S. Arimba S. Jai Sabda Armandio Sabine Mueller Sabine Müller Sabrank Suparno Saiful Amin Ghofur Sajak Samir Amin Samsudin Adlawi Samsul Anam Sapardi Djoko Damono Sasti Gotama Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Selendang Sulaiman Seno Gumira Ajidarma Shinta Maharani Sholihul Huda Sidik Nugroho Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sofyan RH. Zaid Sohifur Ridho’i Soni Farid Maulana Sosiawan Leak Sri Pudyastuti Baumeister Sugito Ha Es Sumani Sumargono SN Sunan Bonang Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Suripno Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutrisno Budiharto Sutrisno Buyil Syarif Hidayat Santoso T Agus Khaidir T.N Angkasa T.S. Eliot Tatan Daniel Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater ESKA Teater Pendopo nDalem Mangkubumen Teater Tawon Tedy Kartyadi Teguh Winarsho AS Teks Lagu Keroncong Bengawan Solo Tirto Suwondo Tito Sianipar Tiya Hapitiawati Tjahjono Widijanto Tjoet Nyak Dhien Toeti Heraty Toto Sudarto Bachtiar Tujuh Bukit Kapur Udin Badruddin Umbu Landu Paranggi Undri Uwell's King Shop Uwell's Setiawan Vitalia Tata W Haryanto W.S. Rendra Wahyu Hidayat Wahyudi Akmaliah Muhammad Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Jengki Sunarta Welly Kuswanto Wulansary Yasunari Kawabata Yeni Mulyani Yetti A. KA Yohanes Sehandi Yonathan Rahardjo Yudha Kristiawan Yudhistira ANM Massardi Yukio Mishima Yusri Fajar Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zehan Zareez Zuhdi Swt Zuhkhriyan Zakaria