lundi 15 février 2021

Problematik Sastra Buruh

S Yoga
suarakarya-online.com
 
Pada tanggal 30 April dan 1 Mei lalu — dalam rangka memperingati Hari Buruh — telah diadakan Festival Sastra Buruh di Blitar. Berkait dengan itu penggiat sastra dan budaya Bagus Putu Parto sangat sibuk. Sebagai pembicara, ditampilkan Beni Setia, Bonari Nabonenar dan Kuswinarto. Beberapa pengarang buruh (migran) yang hadir di antaranya Saiful Bakri (Mojokerto), Arsusi, Endang Pratiwi dan Etik Juwita (Blitar), Lik Kismawati (Sidoarjo), Denok Rokhmatika dan Rini Widyawati (Malang), Eni Kusuma (Banyuwangi), Jumari Hs dan Yudhi MS (Kudus), Maria Bo Niok (Wonosobo) dan Safitri Budiarti (Cilacap). Rata-rata dari mereka pernah bekerja di Hong Kong, sebagai buruh, tentu saja.
 
Sedangkan beberapa buku yang sempat dihasilkan oleh para buruh (migran) di antaranya, Catatan Harian Seorang Pramuwisma (Rini Widyawati), Penari Naga Kecil (Tarini Sorrita), Majikanku Empu Sendok (Denok K Rokhmatika), Nyanyian Imigran (Lik Kismawati,dkk), Perempuan Negeri Beton (Wina Karnie), Hong Kong Namaku Peri Cinta (Wina Karnie,dkk).
 
Defenisi sastra buruh pun bisa diperdebatkan panjang lebar. Apakah yang dimaksud sastra buruh adalah karya sastra yang ditulis ketika ia menjadi buruh. Bagaimana kalau ia sudah tidak jadi buruh namun menulis sastra buruh, dan hal ini banyak dilakukan oleh mereka. Atau bahkan seorang yang tidak pernah jadi buruh namun konsen terhadap nasib buruh. Misal puisi Dongeng Marsinah-nya Sapardi Djoko Darmono, yang begitu indah dan tak mengurangi ironi atau tragedi kemanusiaan seorang buruh arloji. Dan beberapa pengarang lain yang suka menulis perihal nasib buruh.
 
Bahkan sastra (bertema) buruh di luar negeri banyak digerakkan oleh para pengarang yang bukan buruh, misal Anton Chekov yang terkenal dengan cerpennya Matinya Seorang Buruh Kecil. Emile Zola dengan novel Germinal yang mengisahkan kehidupan para pekerja pabrik dan ketertindasan struktur oleh para borjuis di Eropa.
 
Maxim Gorki yang kebetulan semenjak usia 12 tahun juga bekerja menjadi buruh apa saja, terkenal dengan sastra realisme sosialnya, yang banyak menyoroti kehidupan buruh pabrik, Tales of Italy, yang di Indonesia diterjemahkan menjadi Pemogokan. Charles Dickens yang terkenal dengan novel Oliver Twist, yang mengangkat tema pekerja (buruh) anak. Karya-karya mereka ini menjadi klasik karena memang ceritanya menyentuh tanpa harus menggurui. Sastra tidak secara langsung menjadi alat perjuangan buruh, namun kesan yang ada dalam kisah itu mampu membangkitkan persoalan kemanusiaan akan kondisi kaum buruh.
 
Sedangkan sastra buruh kita yang kebetulan ditulis oleh buruh (kalau hal ini memang yang disepakati akan definisi sastra buruh). Secara umum masih menampakkan “propaganda” atau alat perjuangan langsung. Agar dibaca oleh para pejabat atau instansi terkait berkaitan dengan perburuhan. Sehingga didapatkan dari hasil membaca ini sikap yang bijaksana oleh para pejabat. Kalau memang itu tujuan utama, kenapa tidak demonstrasi atau pembangkangan sosial. Yang efekivitasnya segera dapat terlihat. Bahkan oleh hal-hal yang berbau demonstrasi saja para pejabat tidak tergerak hatinya akan perbaikan nasib buruh. Boro-boro diminta membaca karya sastra buruh agar hatinya terketuk.
 
Di sinilah persoalan utama yang harus kita cari akar persoalan sastra buruh yang sebenarnya. Sehingga capaian artistik yang dapat berumur panjang, langgeng menjadi sesuatu yang wajar untuk dijadikan pilihan. Tidak reaktif dan implusif.
 
Kita tahu meski genre sastra itu bermacam-macam jenisnya, namun standar karya sastra dari dulu hingga sekarang akan itu-itu saja. Bahkan Budi Darma dengan nada yang sinis pernah menyatakan Tidak diperlukan Sastra Madya, di mana estetika sastra adalah hal utama dari sebuah karya sastra apa pun macam bentuknya.
 
Perihal sastra buruh sendiri sebenarnya tidak terlepas dari seorang penyair yang hingga kini tidak diketahui keberadaannya, yakni Wiji Tukul (Solo), salah satu kumpulan puisinya yang terkenal adalah Mencari Tanah Lapang. Ia seorang buruh yang konsisten, berani dan jujur dalam puisi-puisinya, meski pun dia juga menyadari bahwa puisi buatnya adalah sebagai alat perjuangan bagi nasib buruh. Namun ia tidak begitu saja mau diperbudak oleh kata-kata yang telanjang. Dalam puisi-puisinya masih sangat terlihat irama, rima, ritme, ironi dan metafora yang mengena. Saya kira ialah yang mula-mula memperkenalkan sastra buruh dengan pembacaan puisi di pabrik-pabrik, kampus, kampung dan keluar masuk kota dan desa di tahun 1990-an.
 
Pada tahun 1995-an, di Tangerang pun muncul Wowok Hesti Prabowo (yang kemudian dinobatkan sebagai Presiden Penyair Buruh) dengan Roda-Roda Budaya, Institut Puisi Tangerang, Budaya Buruh Tangerang dan Teater Buruh, yang sengaja ia bentuk. Dengan komunitas-komunitas yang menyebar, diharapkan persoalan buruh dapat terekam lewat karya sastra dan teater, selain pemberdayaan buruh dalam setiap diskusi-diskusinya. Komunitas ini kemudian menerbitkan kumpulan puisi Rumah Retak, Trotoar dan Buruh Menggugat. Dari jaringan sastra buruh yang dikembangkan Wowok ini rupanya menyebar ke wilayah-wilayah di luar Tangerang.
 
Di Kudus pun muncul nama Jumari Hs dan Yudhi MS (pabrik Djarum), yang estetika puisi-puisinya cukup baik. Dari generasi ini selain nama-nama tersebut masih ada beberapa nama yang karya-karyanya cukup disegani di jagad sastra, misal Dingul Rilesta, Aris Kurniawan, Husnul Khuluqi, Mahdiduri. Bahkan Husnul Khuluqi meski hingga kini masih menjadi buruh, puisi-puisinya menjadi kekayaan tersendiri dalam khazanah sastra Indonesia. Puisinya tidak hanya menyuarakan nasib buruh namun memiliki estetika sastra yang baik.
 
Sedangkan gegap-gempita sastra buruh migran yang mulai tumbuh pada tahun 2000-an, adalah generasi sastra buruh internet. Karena dari mereka banyak yang berkomunikasi dan menyebarkan karya-karyanya atau berdiskusi lewat internet, sebelum kemudian dibukukan. Generasi sastra buruh migran inilah yang sekarang mendapat tempat dalam isu berbagai ketimpangan pada buruh migran yang kian hari kian marak. Salah seorang penggerak dari sastra buruh migran adalah Bonari Nabonenar.
 
Namun demikian melihat dari karya sastra yang dihasilkan, umumnya masih pada persoalan-persoalan besar, sehingga cenderung memperalat bahasa untuk sebuah pesan yang ingin mereka perjuangkan. Mereka umumnya menulis prosa, karena banyak dihuni oleh penulis-penulis wanita. Kadang kita melihat estetikanya dengan karya-karya yang dibuat bukan buruh migran, hasilnya sama saja, hanya temanya yang mefokus ke persoalan perburuhan.
 
Tentu saja kita berharap, dikemudian hari, akan muncul penulis-penulis yang tidak hanya mengejar pesan namun kesan yang mendalam akan kisah-kisah kecil yang menarik, tragik dan ironi. Sehingga kita bisa mendapatkan penulis-penulis bertema buruh sekuat Emile Zola, Maxim Gorki, Charles Dickens dan Anton Chekov yang penuh satir, dengan realisme sosial yang tidak hanya menyenangkan saja maupun sekedar sebagai alat propaganda.
 
Memang susah untuk mencari landasan filosofis dari gerakan sastra buruh, ketika capaian artistiknya (bentuk) masih sama dengan karya sastra lainnya, kecuali pada perbedaan temanya saja. Karena itu sastra buruh migran cenderung menjadi sebuah gerakan. Dan bila kita cermati dari orang-orang yang terlibat di dalam sastra buruh migran ini.
 
Kita bisa mendapatkan nama-nama yang sama ketika mencuat gerakan Revitalisasi Sastra Pedalaman (RSP) di tahun 1990-an. Yang dengan garang menentang pemusatan sastra (karya, penulis dan redaktur) yang hanya berputar-putar di Jakarta. Ketika itu ada nama-nama Kusprihyanto Namma, Beno Siang Pamungkas, Bonari Nabobenar, Bagus Putu Parto dan Beni Setia. Namun karena capaian karya sastranya tidak berbeda dengan karya yang ditentangnya maka ia hanya merupakan gerakan sastra atau setrategi politik sastra. Dan apakah sastra buruh (migran) juga hanya bermain-main dalam politik sastra saja, biarlah waktu yang menjawab.
***
 
*) Penulis, seorang penyair tinggal di Situbondo. http://sastra-indonesia.com/2009/03/problematik-sastra-buruh/

Aucun commentaire:

Publier un commentaire

A. Anzieb A. Muttaqin A. Syauqi Sumbawi A.P. Edi Atmaja A.S. Laksana Abdurrahman Wahid Acep Zamzam Noor Adhie M Massardi Adin Adrizas Afrilia Afrizal Malna Afrizal Qosim Aguk Irawan MN Agus B. Harianto Agus Himawan Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agus Sunyoto Ahmad Faishal Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Jauhari Ahmadun Yosi Herfanda Aik R Hakim Akhmad Sekhu Akhudiat Akmal Nasery Basral Albert Camus Alex R. Nainggolan Amanche Franck Amien Kamil Aming Aminoedhin Ana Mustamin Andra Nur Oktaviani Andrenaline Katarsis Anindita S. Thayf Anjrah Lelono Broto Annisa Febiola Anton Wahyudi Aprinus Salam Arafat Nur Arie MP Tamba Arif Yulianto Arifi Saiman Arswendo Atmowiloto Arung Wardhana Ellhafifie Aryo Bhawono AS Dharta Asarpin Atok Witono Awalludin GD Mualif Ayesha B Kunto Wibisono Badaruddin Amir Balada Bambang Bujono Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bantar Sastra Bengawan Beni Setia Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Berita Foto Bernadette Aderi Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Boy Mihaballo Budaya Budi Darma Bustan Basir Maras Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar D. Zawawi Imron Daisy Priyanti Dareen Tatour Daru Pamungkas Dedy Tri Riyadi Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dharmadi Dhenok Kristianti Dian Sukarno Didin Tulus Dina Oktaviani Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dwi Fitria Dwi Klik Santosa E. M. Cioran Ebiet G. Ade Eddi Koben Edi AH Iyubenu Edy A Effendi Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Permadi Eko Prasetyo Enda Menzies Ernest Hemingway Erwin Setia Esai Evan Gunanzar F. Rahardi Fadllu Ainul Izzi Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Fairuzul Mumtaz Fajar Alayubi Farah Noersativa Faris Al Faisal Fatah Yasin Noor Fathoni Mahsun Fathurrozak Fauz Noor Fauzi Sukri Fazar Muhardi Feby Indirani Felix K. Nesi Franz Kafka FX Rudy Gunawan Gesang Gola Gong Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Guntur Budiawan Gus Noy Gusti Eka H.B. Jassin Hamka Hari Purwiati Haris del Hakim Hartono Harimurti Hasan Gauk Hasnan Bachtiar Henriette Marianne Katoppo Herry Lamongan HM. Nasruddin Anshoriy Ch Holy Adib Hudan Hidayat Humam S. Chudori I Nyoman Darma Putra Ida Fitri Idrus Ignas Kleden Ilung S. Enha Imam Muhayat Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Indonesia O’Galelano Indra Tjahyadi Indria Pamuhapsari Irwan Apriansyah Segara Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Zulkarnain J Anto Jadid Al Farisy Jakob Oetama Jalaluddin Rakhmat Jamal T. Suryanata James Joyce Januardi Husin Jemi Batin Tikal Jo Batara Surya Johan Fabricius John H. McGlynn John Halmahera Jordaidan Rizsyah Juan Kromen Judyane Koz Junaidi Khab Jurnal Kebudayaan The Sandour Jusuf AN K.H. M. Najib Muhammad Kadjie Mudzakir Kahfie Nazaruddin Kamran Dikarma Kedung Darma Romansha KH. Ahmad Musthofa Bisri Khansa Arifah Adila Khoirul Anam Khulda Rahmatia Kiki Sulistyo Komunitas Sastra Mangkubumen Komunitas-komunitas Teater di Lamongan Kurniawan Kurniawan Junaedhie Kuswaidi Syafi’ie Lagu Laksmi Shitaresmi Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lely Yuana Leo Tolstoy Linda Christanty Linda Sarmili Lutfi Mardiansyah M Zaid Wahyudi M. Adnan Amal M’Shoe Maghfur Munif Mahamuda Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Maman S. Mahayana Maratushsholihah Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Magdalena Bhoernomo Mariana Amiruddin Mario F. Lawi Maroeli Simbolon Martin Aleida Mashdar Zainal Mashuri Mbah Kalbakal Melani Budianta Mochtar Lubis Moh. Dzunnurrain Mohammad Bakir Mohammad Kasim Mohammad Tabrani Muhammad Ali Muhammad Idrus Djoge Muhammad Muhibbuddin Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhidin M. Dahlan Mukhsin Amar Mulyo Sunyoto Munawir Aziz Musafir Isfanhari Mustain Myra Sidharta N. Syamsuddin CH. Haesy Naim Nanda Alifya Rahmah Nara Ahirullah Naskah Teater Naufal Ridhwan Aly Nawangsari Nezar Patria Niduparas Erlang Nikita Mirzani Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nur Wahida Idris Nurel Javissyarqi Observasi Ocehan Pameran Lukisan Panggung Teater Pentigraf Performance Art Pondok Pesantren Al-Madienah Pramoedya Ananta Toer Pramono Pringgo HR Prosa Pudyo Saptono Puisi Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Puthut EA Putu Wijaya R. Toto Sugiharto Raedu Basha Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Prambudhi Dikimara Ratih Kumala Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Reko Alum Remy Sylado Resensi Reza Aulia Fahmi Ribut Wijoto Rikardo Padlika Gumelar Riki Dhamparan Putra Risang Anom Pujayanto Riska Nur Fitriyani Rofiqi Hasan Rokhim Sarkadek Roland Barthes Rony Agustinus Rosdiansyah Rozi Kembara Rx King Motor S Yoga S. Arimba S. Jai Sabda Armandio Sabine Mueller Sabine Müller Sabrank Suparno Saiful Amin Ghofur Sajak Samir Amin Samsudin Adlawi Samsul Anam Sapardi Djoko Damono Sasti Gotama Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Selendang Sulaiman Seno Gumira Ajidarma Shinta Maharani Sholihul Huda Sidik Nugroho Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sofyan RH. Zaid Sohifur Ridho’i Soni Farid Maulana Sosiawan Leak Sri Pudyastuti Baumeister Sugito Ha Es Sumani Sumargono SN Sunan Bonang Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Suripno Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutrisno Budiharto Sutrisno Buyil Syarif Hidayat Santoso T Agus Khaidir T.N Angkasa T.S. Eliot Tatan Daniel Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater ESKA Teater Pendopo nDalem Mangkubumen Teater Tawon Tedy Kartyadi Teguh Winarsho AS Teks Lagu Keroncong Bengawan Solo Tirto Suwondo Tito Sianipar Tiya Hapitiawati Tjahjono Widijanto Tjoet Nyak Dhien Toeti Heraty Toto Sudarto Bachtiar Tujuh Bukit Kapur Udin Badruddin Umbu Landu Paranggi Undri Uwell's King Shop Uwell's Setiawan Vitalia Tata W Haryanto W.S. Rendra Wahyu Hidayat Wahyudi Akmaliah Muhammad Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Jengki Sunarta Welly Kuswanto Wulansary Yasunari Kawabata Yeni Mulyani Yetti A. KA Yohanes Sehandi Yonathan Rahardjo Yudha Kristiawan Yudhistira ANM Massardi Yukio Mishima Yusri Fajar Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zehan Zareez Zuhdi Swt Zuhkhriyan Zakaria