lundi 15 février 2021

Revolusi Media, Sastra Internet dan Kerinduan Pada HB Jassin

Sutrisno Budiharto
 
REVOLUSI MEDIA benar-benar mengalir deras menyusul pesatnya perkembangan tehnologi – baik itu perangkat keras mupun perangkat lunak – yang mendorong berkembangnya media informasi dan komunikasi. Pada dekade 1990-an silam, media informasi yang jamak dipakai masyarakat adalah koran, majalah, tabloid (media cetak), radio dan televisi (media eletronika) konfensional yang masih terkendala oleh jarak, ruang dan waktu. Sekarang, semenjak menjamurnya pelayanan internet yang didukung dengan digitalisasi pengolah data, arus revolusi media sulit terbendung lagi hingga menghapus batas-batas ruang, jarak dan waktu. Terlebih, kekuasan represif Orde Baru telah tiada, ruang berekspresi pun menjadi sangat leluasa, bahkan nyaris tiada batas, termasuk dalam berkesenian; baik itu seni sastra, seni musik, maupun seni rupa/grafis. Siapa pun, di mana pun, kini bisa mengekspresikan bahasa seninya melalui media internet. Dalam jebakan kemacetan lalu-lintas Jakarta pun, orang bisa menulis puisi dan mempublikasikannya melalui media sosial seperti facebook atau twitter.
 
Pada dekade 1990-an lalu, kebebasan macam itu belum bisa dijumpai. Selain masih adanya tekanan represif kekuasan Orde Baru, akses masyarakat dalam memperoleh layanan media informasi dan komunikasi juga masih terbatas. Hanya orang-orang tertentu yang dapat memperoleh layanan media koran, majalah, tabloid (media cetak), radio dan televisi (media eletronika) karena aksesnya masih terkendala oleh jarak, ruang dan waktu. Keterbatasan akses tersebut juga dialami para seniman daerah yang hendak mengekspersikan karya seninya. Bahkan, keterbatasan akses media tersebut sempat melahirkan polemik hebat yang dipicu adanya gerakan “Revitalisasi Sastra Pedalaman”.
 
Seingat Saya, gerakan “Revitalisasi Sastra Pedalaman” tersebut tak lepas adanya anggapan bahwa ruang media untuk berekspresi kala itu sangat terhegemoni oleh para seniman pusat ibu kota, Jakarta. Beno Siang Pamungkas, penyair asal Semarang, menjadi salah seorang penggerak “Revitalisasi Sastra Pedalaman” itu. Penyair Jawa Tengah tersebut pernah menyatakan, “Kalau saja jurnalisme seni kita lebih punya kesungguhan untuk memotret… bukan mustahil akan terkuak tambang-tambang emas karya sastra yang sampai saat ini masih terpendam jauh di bawah permukaan bumi.”
 
Dari Sastra Sampah hingga Kritikus Sembarangan
 
Sekarang, setelah terjadi revolusi media yang menghapus batasan ruang, jarak dan waktu — gerakan “Revitalisasi Sastra Pedalaman” sudah tiada tampak lagi manuvernya. Yang terjadi adalah menjamurnya karya-karya sastra internet; entah itu berupa puisi, cerpen, dan kritik sasra. Dalam facebook ada banyak komunitas penulis puisi maupun prosa. Di twitter juga demikian. Tak hanya itu, dalm blog juga tumbuh subur para penulis wajah baru, baik tua maupun muda. Mungkin saking banyaknya karya sastra internet yang muncul (entah puisi, cerpen atau yang lainnya), akhirnya ada juga yang melontarkan cibiran bahwa karya sastra yang lahir di internet tak ubahnya sastra sampah karena dianggap memiliki mutu yang rendah.
 
Cibiran rendahnya kualitas karya sastra internet itu memang tidak bisa disalahkan. Sebab, dalam internet, siapa saja bisa mengklaim sebagai sastrawan atau seniman setelah mereka mempublikasikan karyanya melalui internet tanpa ada batasan estetis yang menyaringnya. Ribut Wijoto pernah mengeluhkan hal itu. Menurut Ribut Wijoto, ‘sastrawan internet’ dapat mempublikasikan teks apa saja, kapan saja, tentang apa saja, latar apa saja, tawaran estetik apa saja, dan sebagainya apa saja. Peminat sastra, yang baru belajar menulis karya sastra, juga bisa mempublikasikan karyanya. Tulisan apa saja yang dianggap karya sastra pasti bisa dimuat di media internet. “Tinggal menunggu giliran. Bagi yang berminat terhadap kritik sastra, sang kritikus boleh memilih karya sembarangan, pendekatan sembarangan, teori sembarangan, komentar sembarangan, polemik sembarangan. Pasti ditampilkan. Tinggal menunggu giliran,” kata Ribut Wijoto dalam tulisan berjudul “Pencerahan Estetik Sastra Internet” (terpelanting.wordpress.com).
 
Masih Miskinnya SDM yang Peduli Membangun Sastra
 
Pertanyaan yang muncul kemudian adalah bernakah semua karya sastra yang dilahirkan melalui internet adalah sastra sampah yang bermutu rendah? Harus diakui terlalu bebasnya ruang internet sebagai media untuk mengekspresikan karya apa saja yang dianggap sastra, memang bisa melahirkan karya-karya sastra yang bermutu rendah. Namun saya kurang sependapat jika ada yang menggeneralisir bahwa semua karya sastra yang dilahirkan melalui internet, semuanya dianggap sastra sampah. Saya punya keyakinan bahwa di belantara internet yang sedemikian hiruk pikuk oleh jutaan informasi tersebut pasti ada karya sastra yang bernilai tinggi.
 
Persoalannya, mungkin terletak pada miskinnya sumber daya manusia yang punya kepedulian dalam membangun sastra di Indonesia agar menjadi lebih baik dan lebih berbobot. Paling tidak, Indonesia sangat membutuhkan orang-orang peduli sastra seperti yang pernah ditunjukkan HB Jasin. Kalau sumber daya manusia peminat sastra mungkin jumlahnya bisa disebut sudah ‘meledak’ seiring menjamurnya sastrawan internet. Tapi untuk sumber daya manusia sekelas HB Jasin, yang memiliki ketekunan tinggi dalam mendokumentasikan buku-buku karya sastra dan budaya sekaligus mengkrikitisi karya-karya sastra yang ditemukannya, Indonesia bisa disebut masih miskin.
 
Dengan kata lain, sastra internet bisa disebut rindu akan kehadiran HB Jasin baru. Kalau dalam sepakbola Eropa dan Amerika ada banyak para pemandu bakat yang punya peran penting dalam pengembangan sepakbola. Pekerjaan para pemandu bakat itu hanya mengamati dan menyaring para pemain muda berbakat yang diprediksikan bisa menjadi pemain profesional bagus di kemudian hari. Dalam sastra internet, mestinya ada juga orang yang bertindak sebagai pemandu bakat seperti dalam sepakbola. Jika ada banyak pemandu bakat sastra dalam media internet, bisa jadi sastra bermutu dari media internet akan dapat dikumpulkan.
 
Perlu Waktu dan Kesabaran
 
Pendek kata, Saya tidak risih atas menjamurnya sastra internet belakangan ini. Biarkan saja mereka berkarya dengan gaya apa adanya. Yang jelas, Saya sependapat dengan Kiswondo bahwa dalam suasana gegap gempita reformasi, maka kehidupan bersastra, berbudaya serta bermasyarakat, kita harus lebih rasional, humanis, dan demokratis. Penghormatan terhadap perbedaan merupakan imperatif demokrasi yang harus dikerjakan. Masa Sandya-kalaning (masa kegelapan dan keruntuhan) Indonesia, di mana perbedaan diartikan sebagai kutukan, pemenjaraan, dan pembunuhan — harus segera dihentikan. (Kiswondo: Bangkitnya Counter-Hegemony dalam Masyarakat dan Sastra Indonesia; 1999). Bagaimanapun Saya tidak sepakat jika sastra internet hanya dipandang dengan sebelah mata, kemudian dikucilkan. Sebab, kalau ingin tumbuh dan berkembang saja sudah dikekang, kapan sastra Indonesia bisa maju?
 
Suatu saat, mungkin saja di antara sastra internet akan tampil ke permukaan dan menjadi populer karena memiliki bobot kualitas kesastraan yang kuat. Bukankah terkenalnya lagu “Canon in D” karya Johann Pachelbel (lahir 1 September 1653 – meninggal 9 Maret 1706) juga datang terlambat setelah pengarangnya meninggal ratusan tahun? Awalnya, “Canon in D” terlupakan berabad-abad sampai ditemukan pada abad ke-20. Beberapa dekade setelah dipublikasikan pada tahun 1919, lagu ini menjadi sangat terkenal hingga banyak dimainkan jutaan pemusik dari berbagai penjuru dunia hingga saat ini. Semoga saja di antara sastra internet Indonesia ada yang mengalami ‘nasib’ serupa dengan lagu “Canon in D”, dicintai banyak orang dari berbagai negara.[*]
 
http://sutrisno-budiharto.blogspot.com/2012/10/revolusi-media-sastra-internet-dan.html
http://sastra-indonesia.com/2013/04/revolusi-media-sastra-internet-dan-kerinduan-pada-hb-jassin/
 
 
 

 

Aucun commentaire:

Publier un commentaire

A. Anzieb A. Muttaqin A. Syauqi Sumbawi A.P. Edi Atmaja A.S. Laksana Abdurrahman Wahid Acep Zamzam Noor Adhie M Massardi Adin Adrizas Afrilia Afrizal Malna Afrizal Qosim Aguk Irawan MN Agus B. Harianto Agus Himawan Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agus Sunyoto Ahmad Faishal Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Jauhari Ahmadun Yosi Herfanda Aik R Hakim Akhmad Sekhu Akhudiat Akmal Nasery Basral Albert Camus Alex R. Nainggolan Amanche Franck Amien Kamil Aming Aminoedhin Ana Mustamin Andra Nur Oktaviani Andrenaline Katarsis Anindita S. Thayf Anjrah Lelono Broto Annisa Febiola Anton Wahyudi Aprinus Salam Arafat Nur Arie MP Tamba Arif Yulianto Arifi Saiman Arswendo Atmowiloto Arung Wardhana Ellhafifie Aryo Bhawono AS Dharta Asarpin Atok Witono Awalludin GD Mualif Ayesha B Kunto Wibisono Badaruddin Amir Balada Bambang Bujono Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bantar Sastra Bengawan Beni Setia Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Berita Foto Bernadette Aderi Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Boy Mihaballo Budaya Budi Darma Bustan Basir Maras Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar D. Zawawi Imron Daisy Priyanti Dareen Tatour Daru Pamungkas Dedy Tri Riyadi Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dharmadi Dhenok Kristianti Dian Sukarno Didin Tulus Dina Oktaviani Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dwi Fitria Dwi Klik Santosa E. M. Cioran Ebiet G. Ade Eddi Koben Edi AH Iyubenu Edy A Effendi Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Permadi Eko Prasetyo Enda Menzies Ernest Hemingway Erwin Setia Esai Evan Gunanzar F. Rahardi Fadllu Ainul Izzi Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Fairuzul Mumtaz Fajar Alayubi Farah Noersativa Faris Al Faisal Fatah Yasin Noor Fathoni Mahsun Fathurrozak Fauz Noor Fauzi Sukri Fazar Muhardi Feby Indirani Felix K. Nesi Franz Kafka FX Rudy Gunawan Gesang Gola Gong Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Guntur Budiawan Gus Noy Gusti Eka H.B. Jassin Hamka Hari Purwiati Haris del Hakim Hartono Harimurti Hasan Gauk Hasnan Bachtiar Henriette Marianne Katoppo Herry Lamongan HM. Nasruddin Anshoriy Ch Holy Adib Hudan Hidayat Humam S. Chudori I Nyoman Darma Putra Ida Fitri Idrus Ignas Kleden Ilung S. Enha Imam Muhayat Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Indonesia O’Galelano Indra Tjahyadi Indria Pamuhapsari Irwan Apriansyah Segara Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Zulkarnain J Anto Jadid Al Farisy Jakob Oetama Jalaluddin Rakhmat Jamal T. Suryanata James Joyce Januardi Husin Jemi Batin Tikal Jo Batara Surya Johan Fabricius John H. McGlynn John Halmahera Jordaidan Rizsyah Juan Kromen Judyane Koz Junaidi Khab Jurnal Kebudayaan The Sandour Jusuf AN K.H. M. Najib Muhammad Kadjie Mudzakir Kahfie Nazaruddin Kamran Dikarma Kedung Darma Romansha KH. Ahmad Musthofa Bisri Khansa Arifah Adila Khoirul Anam Khulda Rahmatia Kiki Sulistyo Komunitas Sastra Mangkubumen Komunitas-komunitas Teater di Lamongan Kurniawan Kurniawan Junaedhie Kuswaidi Syafi’ie Lagu Laksmi Shitaresmi Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lely Yuana Leo Tolstoy Linda Christanty Linda Sarmili Lutfi Mardiansyah M Zaid Wahyudi M. Adnan Amal M’Shoe Maghfur Munif Mahamuda Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Maman S. Mahayana Maratushsholihah Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Magdalena Bhoernomo Mariana Amiruddin Mario F. Lawi Maroeli Simbolon Martin Aleida Mashdar Zainal Mashuri Mbah Kalbakal Melani Budianta Mochtar Lubis Moh. Dzunnurrain Mohammad Bakir Mohammad Kasim Mohammad Tabrani Muhammad Ali Muhammad Idrus Djoge Muhammad Muhibbuddin Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhidin M. Dahlan Mukhsin Amar Mulyo Sunyoto Munawir Aziz Musafir Isfanhari Mustain Myra Sidharta N. Syamsuddin CH. Haesy Naim Nanda Alifya Rahmah Nara Ahirullah Naskah Teater Naufal Ridhwan Aly Nawangsari Nezar Patria Niduparas Erlang Nikita Mirzani Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nur Wahida Idris Nurel Javissyarqi Observasi Ocehan Pameran Lukisan Panggung Teater Pentigraf Performance Art Pondok Pesantren Al-Madienah Pramoedya Ananta Toer Pramono Pringgo HR Prosa Pudyo Saptono Puisi Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Puthut EA Putu Wijaya R. Toto Sugiharto Raedu Basha Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Prambudhi Dikimara Ratih Kumala Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Reko Alum Remy Sylado Resensi Reza Aulia Fahmi Ribut Wijoto Rikardo Padlika Gumelar Riki Dhamparan Putra Risang Anom Pujayanto Riska Nur Fitriyani Rofiqi Hasan Rokhim Sarkadek Roland Barthes Rony Agustinus Rosdiansyah Rozi Kembara Rx King Motor S Yoga S. Arimba S. Jai Sabda Armandio Sabine Mueller Sabine Müller Sabrank Suparno Saiful Amin Ghofur Sajak Samir Amin Samsudin Adlawi Samsul Anam Sapardi Djoko Damono Sasti Gotama Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Selendang Sulaiman Seno Gumira Ajidarma Shinta Maharani Sholihul Huda Sidik Nugroho Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sofyan RH. Zaid Sohifur Ridho’i Soni Farid Maulana Sosiawan Leak Sri Pudyastuti Baumeister Sugito Ha Es Sumani Sumargono SN Sunan Bonang Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Suripno Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutrisno Budiharto Sutrisno Buyil Syarif Hidayat Santoso T Agus Khaidir T.N Angkasa T.S. Eliot Tatan Daniel Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater ESKA Teater Pendopo nDalem Mangkubumen Teater Tawon Tedy Kartyadi Teguh Winarsho AS Teks Lagu Keroncong Bengawan Solo Tirto Suwondo Tito Sianipar Tiya Hapitiawati Tjahjono Widijanto Tjoet Nyak Dhien Toeti Heraty Toto Sudarto Bachtiar Tujuh Bukit Kapur Udin Badruddin Umbu Landu Paranggi Undri Uwell's King Shop Uwell's Setiawan Vitalia Tata W Haryanto W.S. Rendra Wahyu Hidayat Wahyudi Akmaliah Muhammad Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Jengki Sunarta Welly Kuswanto Wulansary Yasunari Kawabata Yeni Mulyani Yetti A. KA Yohanes Sehandi Yonathan Rahardjo Yudha Kristiawan Yudhistira ANM Massardi Yukio Mishima Yusri Fajar Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zehan Zareez Zuhdi Swt Zuhkhriyan Zakaria