lundi 15 février 2021

Tentang Penyair dan Penyakit Puisi

Fahrudin Nasrulloh *
 
Apa hebatnya puisi sehingga tak lelah-lelah terus dituliskan? Penyair-penyair muda terus bermunculan. Yang lawas-lawas kian mengukuhkan kepenyairannya. Sedang yang lain adalah mereka yang telah kehilangan gairahnya, karena tuntutan hidup yang riil lebih mencambuk ketimbang mengurusi puisi. Memang, gairah pada puisi, pada belantara teks, pada kembara pengalaman puitik, pengalaman di kedalaman bahasa, merupakan kerahasiaan tersendiri atas segala proses itu. “The text you write must prove to me that it desires me. This proof exists: it is writing,” Begitu ungkap Barthes dalam The Pleasure of the Text. Ada semacam desakan besar di sana, yakni melahirkan corak puisi sendiri, menempanya bertahun-tahun, seperti Empu Gandring, dengan segala cinta, dengan segala yang bakal menghilang, dan yang tak mungkin direngkuh kembali.
 
Dua Penyair dalam kumpulan sajak Gobang Semarang (KataKita: Depok, 2009) berada pada perbatasan di “awang-awang” itu. Perbatasan, di mana “jeda” untuk mengada tak selamanya kuasa menemukan “tanda”. Puisi seperti makhluk asing yang mengandung daya tersendiri tapi juga sebagai penyakit: penyakit kala puisi jadi tindakan yang terus menerus ditulis, kata Afrizal Malna. Ia selalu bermasalah dengan bahasa dan kekacaun dirinya. “Aku berpikir, maka aku berantakan,” katanya. Dalam konteks luarnya, bukan berarti setiap penyair berantakan seperti Afrizal.
 
Daya hidup dari puisi, secara bawah sadar, menjadi kekuatan lelaku penyair, sehingga apapun penyakit itu, akan larut di dalamnya. Larut sekaligus menguatkan. Kian mengokohkan kepercayaan akan yang sekedar “puisi” itu. Seperti laku sholat yang diyakini muslim yang taat, kekuatan religius tak dapat ditembus oleh apa pun selain Allah. Dan “tanda” dari kekuatan puisi dan kenyataan yang teralami maupun “jeda” saat disergap segala penyakitnya: di situlah jalan Beno Siang Pamungkas dan Timur Sinar Suprabana beriktiair meyakini puisi mereka. Pada puisi Timur, bebayang dan tilas kenangan juga panorama cinta dengan nuansa melankolik yang memerih dapat kita nikmati misalnya pada puisi “langgam kembang kemesraan” yang diperuntukkan buat istrinya: sajak-sajak/ minta tempat berpijak/ kuberi di hati/ tak kenal sepi/ tiada yang tak terperi/ : di Istri/ di Seluruh jarak dengan mati/ ……
 
Tampak pula kerja kreatif tiada putusnya pada puisi-puisi Beno, yang tersirat dalam puisi “Gobang” misalnya. Ia tak ingin tersilap dalam “keterpanaan yang bebal” akan masa lalu, akan puisi-puisi Tardji, Sapardi, dan Zawawi. Rasa gagal memahaminya, atau terbetik serapah berontak pada mereka, sehingga dengan gobangnya seolah-olah Beno mlotot menantang: …./ sebilah gobang memandangku dan bertanya/ tardji, mana kapakmu/ sapardi, mana pisaumu/ zawawi, mana celuritmu….
 
Menggobang dalam tangkapan saya bisa bermakna sebagai perlawanan kecil. Walau sepelemparan kerikil. Untuk diri, atau pada luar diri. Bisa jadi bukan untuk hal-hal yang bersifat sentimentil. Seperti menampik kegelisahan Edmond Jabès pada segala yang telah dituliskannya, “little by little words will finishme”.
 
Dua penyair ini memiliki corak puisi yang liris, naratif, dan melankolis. Dalam kerangka ungkapan yang gampang dipahami dan terang, dengan kedalaman makna tersendiri dan balutan metafora yang ritmis. Seperti nyanyian, kadang pekikan, yang melambungkan ke padalaman kenangan ihwal diri, cinta, negeri yang tenggelam, tafsir cerita kota dan kelokan mitosnya, pengingkaran, pun kenestapaan. Apakah penyair memiliki sejenis “iman kepenyairan” masing-masing dalam memperjuangkan apa yang kita sebut sebagai atas nama kebenaran yang dicerapnya, dihayatinya? Iman di sana tersembunyi di batin, seperti asap gaib, deru ombak, atau cuma kentut demi sebuah jalan pencarian. Meski ia tak bisa secara mutlak “menggenggam” kebenaran itu. Ia hanya mendekati dengan semacam “kecintaan” akan kebenaran. Dalam situasi demikian, penyair telah melompat menembus ketidaktahuan.
 
Jika dicermati lebih intens, apa kiranya landasan pemikiran puitik yang disorong Beno dengan tematik “gobang”-nya itu sebagai pilihan estetiknya, terkait isi, dan peristiwa puisi yang dibangunnya? Ataukah kata “gobang” cuma comotan sekenanya untuk judul buku? Jika tidak, tentu ada hakl lain yang dapat disusuri pembaca, misalnya kenapa kata “gobang” tidak tersemat di keseluruhan puisi Beno? Ini pertanyaan yang agak dangkal, tapi perlu dijabarkan. Karena proses kreatif ini penting dituliskan. Sebenarnya, ada beberapa puisi Beno yang mengangkat fenomena “facebook”: ini menarik. Jika kita berpikir futuris, bagaimana posisi puisi (secara umum sastra) dan penyairnya di balik selebrasi guncangan teknologi yang demikian gigantik itu. Semua orang jadi mesin, entah demi apa-siapa. Mungkin puisi atau kesenian yang lebih luas juga kian tak menjadi bagian penting bagi kehidupan masyarakat dalam percepatan-percepatan zaman dan perubahan. Dunia maya bak mesin raksasa yang tidur dalam tubuh manusia. Penyair kini makin sulit melahirkan puisi, kecuali puisi “emosi semata” yang sekali jadi seperti bebek-bebek bertelur yang tak perlu bertanya kenapa ia bertelur dan untuk apa telur itu. Banyak yang terjebak di sana. Dan ironisnya, mereka tak tahu atau tak mau tahu. Semua boleh-boleh saja pingin jadi penyair, mengerami penyakitnya dan kembaranya sendiri.
 
Dan semangat yang tidak kenal menyerah pada sosok Beno dan Timur, semoga tak akan terkecoh dan luntur di tengah segala ketidakpastian di negeri ini, termasuk tetek-bengek di seputar puisi dan diri. Sebab “kapak” Tardji sudah berlalu. “Pisau” Sapardi tak lagi menusuk orang sepi dalam hujan bulan juni. Pun celurit Zawawi tidak ada lagi di warung kopi.
 
—–
*) Fahrudin Nasrulloh, bergiat di Komunitas Lembah Pring Jombang.

**) Disampaikan dalam Halte Sastra, Bedah buku kumpulan puisi Gobang Semarang karya Beno Siang Pamungkas dan Timur Sinar Suprabana, terbitan Kata Kita, di Eks Museum Mpu Tantular Surabaya, Sabtu, 12 Juni 2010, jam19.30 -22.00 wib. http://sastra-indonesia.com/2010/07/tentang-penyair-dan-penyakit-puisi/

Aucun commentaire:

Publier un commentaire

A. Anzieb A. Muttaqin A. Syauqi Sumbawi A.P. Edi Atmaja A.S. Laksana Abdurrahman Wahid Acep Zamzam Noor Adhie M Massardi Adin Adrizas Afrilia Afrizal Malna Afrizal Qosim Aguk Irawan MN Agus B. Harianto Agus Himawan Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agus Sunyoto Ahmad Faishal Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Jauhari Ahmadun Yosi Herfanda Aik R Hakim Akhmad Sekhu Akhudiat Akmal Nasery Basral Albert Camus Alex R. Nainggolan Amanche Franck Amien Kamil Aming Aminoedhin Ana Mustamin Andra Nur Oktaviani Andrenaline Katarsis Anindita S. Thayf Anjrah Lelono Broto Annisa Febiola Anton Wahyudi Aprinus Salam Arafat Nur Arie MP Tamba Arif Yulianto Arifi Saiman Arswendo Atmowiloto Arung Wardhana Ellhafifie Aryo Bhawono AS Dharta Asarpin Atok Witono Awalludin GD Mualif Ayesha B Kunto Wibisono Badaruddin Amir Balada Bambang Bujono Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bantar Sastra Bengawan Beni Setia Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Berita Foto Bernadette Aderi Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Boy Mihaballo Budaya Budi Darma Bustan Basir Maras Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar D. Zawawi Imron Daisy Priyanti Dareen Tatour Daru Pamungkas Dedy Tri Riyadi Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dharmadi Dhenok Kristianti Dian Sukarno Didin Tulus Dina Oktaviani Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dwi Fitria Dwi Klik Santosa E. M. Cioran Ebiet G. Ade Eddi Koben Edi AH Iyubenu Edy A Effendi Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Permadi Eko Prasetyo Enda Menzies Ernest Hemingway Erwin Setia Esai Evan Gunanzar F. Rahardi Fadllu Ainul Izzi Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Fairuzul Mumtaz Fajar Alayubi Farah Noersativa Faris Al Faisal Fatah Yasin Noor Fathoni Mahsun Fathurrozak Fauz Noor Fauzi Sukri Fazar Muhardi Feby Indirani Felix K. Nesi Franz Kafka FX Rudy Gunawan Gesang Gola Gong Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Guntur Budiawan Gus Noy Gusti Eka H.B. Jassin Hamka Hari Purwiati Haris del Hakim Hartono Harimurti Hasan Gauk Hasnan Bachtiar Henriette Marianne Katoppo Herry Lamongan HM. Nasruddin Anshoriy Ch Holy Adib Hudan Hidayat Humam S. Chudori I Nyoman Darma Putra Ida Fitri Idrus Ignas Kleden Ilung S. Enha Imam Muhayat Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Indonesia O’Galelano Indra Tjahyadi Indria Pamuhapsari Irwan Apriansyah Segara Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Zulkarnain J Anto Jadid Al Farisy Jakob Oetama Jalaluddin Rakhmat Jamal T. Suryanata James Joyce Januardi Husin Jemi Batin Tikal Jo Batara Surya Johan Fabricius John H. McGlynn John Halmahera Jordaidan Rizsyah Juan Kromen Judyane Koz Junaidi Khab Jurnal Kebudayaan The Sandour Jusuf AN K.H. M. Najib Muhammad Kadjie Mudzakir Kahfie Nazaruddin Kamran Dikarma Kedung Darma Romansha KH. Ahmad Musthofa Bisri Khansa Arifah Adila Khoirul Anam Khulda Rahmatia Kiki Sulistyo Komunitas Sastra Mangkubumen Komunitas-komunitas Teater di Lamongan Kurniawan Kurniawan Junaedhie Kuswaidi Syafi’ie Lagu Laksmi Shitaresmi Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lely Yuana Leo Tolstoy Linda Christanty Linda Sarmili Lutfi Mardiansyah M Zaid Wahyudi M. Adnan Amal M’Shoe Maghfur Munif Mahamuda Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Maman S. Mahayana Maratushsholihah Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Magdalena Bhoernomo Mariana Amiruddin Mario F. Lawi Maroeli Simbolon Martin Aleida Mashdar Zainal Mashuri Mbah Kalbakal Melani Budianta Mochtar Lubis Moh. Dzunnurrain Mohammad Bakir Mohammad Kasim Mohammad Tabrani Muhammad Ali Muhammad Idrus Djoge Muhammad Muhibbuddin Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhidin M. Dahlan Mukhsin Amar Mulyo Sunyoto Munawir Aziz Musafir Isfanhari Mustain Myra Sidharta N. Syamsuddin CH. Haesy Naim Nanda Alifya Rahmah Nara Ahirullah Naskah Teater Naufal Ridhwan Aly Nawangsari Nezar Patria Niduparas Erlang Nikita Mirzani Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nur Wahida Idris Nurel Javissyarqi Observasi Ocehan Pameran Lukisan Panggung Teater Pentigraf Performance Art Pondok Pesantren Al-Madienah Pramoedya Ananta Toer Pramono Pringgo HR Prosa Pudyo Saptono Puisi Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Puthut EA Putu Wijaya R. Toto Sugiharto Raedu Basha Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Prambudhi Dikimara Ratih Kumala Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Reko Alum Remy Sylado Resensi Reza Aulia Fahmi Ribut Wijoto Rikardo Padlika Gumelar Riki Dhamparan Putra Risang Anom Pujayanto Riska Nur Fitriyani Rofiqi Hasan Rokhim Sarkadek Roland Barthes Rony Agustinus Rosdiansyah Rozi Kembara Rx King Motor S Yoga S. Arimba S. Jai Sabda Armandio Sabine Mueller Sabine Müller Sabrank Suparno Saiful Amin Ghofur Sajak Samir Amin Samsudin Adlawi Samsul Anam Sapardi Djoko Damono Sasti Gotama Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Selendang Sulaiman Seno Gumira Ajidarma Shinta Maharani Sholihul Huda Sidik Nugroho Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sofyan RH. Zaid Sohifur Ridho’i Soni Farid Maulana Sosiawan Leak Sri Pudyastuti Baumeister Sugito Ha Es Sumani Sumargono SN Sunan Bonang Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Suripno Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutrisno Budiharto Sutrisno Buyil Syarif Hidayat Santoso T Agus Khaidir T.N Angkasa T.S. Eliot Tatan Daniel Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater ESKA Teater Pendopo nDalem Mangkubumen Teater Tawon Tedy Kartyadi Teguh Winarsho AS Teks Lagu Keroncong Bengawan Solo Tirto Suwondo Tito Sianipar Tiya Hapitiawati Tjahjono Widijanto Tjoet Nyak Dhien Toeti Heraty Toto Sudarto Bachtiar Tujuh Bukit Kapur Udin Badruddin Umbu Landu Paranggi Undri Uwell's King Shop Uwell's Setiawan Vitalia Tata W Haryanto W.S. Rendra Wahyu Hidayat Wahyudi Akmaliah Muhammad Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Jengki Sunarta Welly Kuswanto Wulansary Yasunari Kawabata Yeni Mulyani Yetti A. KA Yohanes Sehandi Yonathan Rahardjo Yudha Kristiawan Yudhistira ANM Massardi Yukio Mishima Yusri Fajar Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zehan Zareez Zuhdi Swt Zuhkhriyan Zakaria