lundi 15 février 2021

Sertifikat Seniman, Perlukah?

Humam S. Chudori
suarakarya-online.com
 
Sebuah wacana baru dimunculkan Wiendu Nuryanti, wakil menteri Pendidikan dan Kebudayaan, yakni seniman akan diberikan sertifikasi. Gagasan ini dimunculkan, lantaran ia merasa prihatin dengan minimnya standarisasi internasional yang dimiliki seniman Indonesia. Menurutnya, dengan tidak memiliki sertifikat seniman asal Indonesia akan kalah bersaing dengan pekerja-pekerja seni dari negara lain.
 
Entah seniman apa yang akan diberikan sertifikasi nantinya. Memang tidak dijelaskan. Apakah untuk semua jenis kesenian, atau pada seni tertentu. Sebab kesenian ini banyak cabangnya. Ada seni lukis, seni rupa, seni tari, seni teater, seni sastra, musik, dan sebagainya. Belum lagi dengan aliran yang ada pada tiap cabang seni tersebut. Dalam seni lukis saja, misalnya, banyak sekali aliran. Mulai dari naturalis, ekspresionis, abstrak, kubisme, dan sebagainya. Demikian pula, dengan kesenian lain. Banyak alirannya.
 
Karena itu, jika memang seniman akan diberikan sertifikasi harus berapa banyak tim penguji yang akan menentukan seorang seniman berhak mendapatkan sertifikat dari negara. Ini dari jumlah tim penguji, kelayakan seseorang boleh disebut seniman. Namun, yang perlu dipertanyakan apa kriteria tim penguji tersebut. Sebab bukan tidak tertutup kemungkinannya justru tim penguji bukan orang yang mengerti betul tentang kesenian.
 
Nah, bisa dibayangkan apa yang akan terjadi apabila dunia kesenian seperti ini. Mungkin yang sebetulnya bukan seniman bisa disulap menjadi seniman karena mampu me-lobby tim penguji. Sementara itu, yang betul-betul seorang pekerja seni tidak pernah diakui sebagai seorang seniman hanya gara-gara tak bersertifikat. Padahal, diakui atau tidak, tak sedikit jumlah seniman yang telah memberikan sumbangsih kepada bangsa. Atau paling sedikit kepada masyarakat daerahnya. Namun, mereka tidak pernah dikenal secara luas oleh publik. Apakah seniman yang seperti ini, karena tidak bersertifikasi, nantinya akan dilarang untuk berkarya.
 
Toh, sebetulnya, tanpa bersertifikat pun seniman tak jarang dilarang tampil. Entah dalam pembacaan puisi atau pertunjukan teater. Penulis sendiri pernah mengalaminya. Padahal, ketika itu, penulis merasa tidak ada alasan yang pantas untuk dijadikan dalih pelarangan pembacaan puisi. Pun, penulis merasa bukan pekerja seni yang perlu ditakuti untuk membacakan puisi. Apalagi terhadap seniman-seniman yang sudah punya nama. Entah seniman teater atau seniman sastra yang mungkin dianggap akan memengaruhi massa.
 
Pengalaman seniman-seniman (sastra) daerah, misalnya, RSP (Revitalisadi Sastra Pedalaman) juga tak bisa diabaikan begitu saja. Seperti pengakuan Kusprihyanto Namma, bahwa sebelum RSP bubar Beno Siang Pamungkas berpesan, “Sebaiknya RSP dibubarkan, karena sudah menjadi incaran badan intelijen, RSP dianggap membawa semangat kekirian.”
 
Ternyata bukan dewa-dewa sastra plus kroni-kroninya saja yang mendelik melihat sepak terjang RSP. Bahkan instansi militer pun memelototinya. Saya orang desa, tak tahu, apakah yang dikatakan Beno benar atau tidak. Yang jelas, setelah meninggalkan pesan itu, Beno menarik diri dari RSP. Ia tidak lagi menulis karya sastra. Bahkan tak mau dihubungi oleh sastrawan manapun. Ia pun selalu menghindar. Sembunyi. Pun enggan diajak bicara soal RSP, demikian Kusprihyanto Namma menceritakan nasib RSP (Jurnal Boemipoetra, Januari-Maret 2012).
 
Jika benar sertifikasi seniman ditujukan untuk membantu pekerja seni, rasanya, terlalu bombastis. Sebab yang terjadi selama ini justru sebaliknya. Dilarang tampil, dicurigai, dimata-matai, dan tak mendapat kesempatan mengekspresikan karya. Apalagi untuk tampil di manca negara. Lha wong di negeri sendiri kerap dipersulit mengekspresikan karya seninya.
 
Sementara itu, pekerja seni yang tempat mengekspresikan karyanya bukan di panggung. Sebutlah sastrawan, misalnya. Mereka juga tak pernah mendapat dukungan dari pemerintah. Betapa tidak, harga kertas yang mahal tampaknya memberatkan penerbit. Namun, sesungguhnya hal ini berpengaruh kepada buku-buku yang hendak diterbitkan. Belum lagi penulis juga harus menanggung pph yang jumlahnya tidak kira-kira, 15 % jika yang bersangkutan punya NPWP jika tidak punya NPWP maka pph yang harus dibayar 30 %. Padahal, besarnya royalti paling tinggi hanya 10 %. Lalu di mana letak perhatian pemerintah terhadap nasib seniman (sastra). Karena itu, jangan heran jika nasib sastrawan seringkali mengenaskan.
 
Yang menarik untuk digarisbawahi dari pernyataan wamendikbud “Sekarang para pekerja seni Indonesia belum memiliki sertifikat sehingga ketika dibawa ke luar Indonesia, mereka tidak dihargai. Padahal bangsa ini kebanjiran pekerja seni dari luar negeri, antara lain penyanyi hotel dari Filipina, dan penari dari Korea.”
 
Penulis merasa heran dengan pernyataan di atas. Sebab sepengetahuan penulis seniman luar yang datang ke Indonesia tak pernah dipertanyakan apakah mereka punya sertifikat seniman atau tidak. Jadi, penghargaan seniman bukan berdasarkan sertifikat melainkan atas dasar karya dan kesempatan.
 
Ketika Jilfest Jakarta International Literary Festival diselenggarakan (atas kerjasama KSI, KCI, dan disbudpar DKI Jakarta) dan mengundang seniman (baca: sastrawan) dari mancanegara. Tidak pernah ada persayaratan bahwa sastrawan tersebut sudah bersertifikasi. Karena itu, sebetulnya, yang perlu dilakukan pemerintah adalah memberi kesempatan (dan) dana tentunya jika benar pemerintah peduli dengan nasib seniman. Bukan justru membebani dengan pajak seperti terhadap seniman-seniman kreatif seperti para sastrawan. Di samping itu, tentu saja, harus ada kemauan pemerintah untuk memperkenalkan seniman kita di luar negeri. Ketika Bahaa Taher, novelis dari Mesir, datang ke Indonesia untuk menghadiri fesival kesenian di Ubud, misalnya. Sebelum berangkat ke Bali, ia mampir dulu ke Jakarta. Dan, ketika berada di Jakarta, Kedubes Mesir mengundang para sastrawan yang tinggal di Jakarta dan sekitarnya (serta dari kalangan perguruan tinggi dan beberapa orang dari MUI). Bahaa Taher dikenalkan sebagai novelis yang diperhitungkan di Mesir. Sehingga kita yang belum mengenal siapa Bahaa Taher akan tahu bahwa ia seniman terkenal di Mesir.
 
Barangkali, apa yang penulis paparkan ini bisa dijadikan contoh. Jika seniman kita hendak dihargai di luar negeri. Kedubes kita harus melakukan hal yang sama seperti yang dilakukan kedubes Mesir. Bukan cukup dengan memodali seniman tersebut dengan sertifikat pengakuan bahwa yang bersangkutan adalah seorang seniman. Tetapi ketika di luar negeri kedubes kita tak berusaha mengenalkan kepada masyarakat di negara tersebut. Jadi, sebetulnya, bukan sertifikasi yang dibutuhkan seniman. Tetapi, kebebasan kreatif dan dukungan positif dari pemerintah dukungan materiil maupun immateriil. Toh, seniman dari luar yang hendak mengekspresikan karya seninya di negeri kita juga tak pernah dipersyarati harus punya sertifikat dari negara. Karena itu, gagasan melakukan sertifikasi terhadap seniman perlu dipertimbangkan masak-masak. Itu saja!
***
 
*) Humam S. Chudori, pekerja seni tinggal di Tangerang. /12 Mei 2012.

http://sastra-indonesia.com/2012/05/sertifikat-seniman-perlukah/

Aucun commentaire:

Publier un commentaire

A. Anzieb A. Muttaqin A. Syauqi Sumbawi A.P. Edi Atmaja A.S. Laksana Abdurrahman Wahid Acep Zamzam Noor Adhie M Massardi Adin Adrizas Afrilia Afrizal Malna Afrizal Qosim Aguk Irawan MN Agus B. Harianto Agus Himawan Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agus Sunyoto Ahmad Faishal Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Jauhari Ahmadun Yosi Herfanda Aik R Hakim Akhmad Sekhu Akhudiat Akmal Nasery Basral Albert Camus Alex R. Nainggolan Amanche Franck Amien Kamil Aming Aminoedhin Ana Mustamin Andra Nur Oktaviani Andrenaline Katarsis Anindita S. Thayf Anjrah Lelono Broto Annisa Febiola Anton Wahyudi Aprinus Salam Arafat Nur Arie MP Tamba Arif Yulianto Arifi Saiman Arswendo Atmowiloto Arung Wardhana Ellhafifie Aryo Bhawono AS Dharta Asarpin Atok Witono Awalludin GD Mualif Ayesha B Kunto Wibisono Badaruddin Amir Balada Bambang Bujono Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bantar Sastra Bengawan Beni Setia Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Berita Foto Bernadette Aderi Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Boy Mihaballo Budaya Budi Darma Bustan Basir Maras Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar D. Zawawi Imron Daisy Priyanti Dareen Tatour Daru Pamungkas Dedy Tri Riyadi Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dharmadi Dhenok Kristianti Dian Sukarno Didin Tulus Dina Oktaviani Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dwi Fitria Dwi Klik Santosa E. M. Cioran Ebiet G. Ade Eddi Koben Edi AH Iyubenu Edy A Effendi Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Permadi Eko Prasetyo Enda Menzies Ernest Hemingway Erwin Setia Esai Evan Gunanzar F. Rahardi Fadllu Ainul Izzi Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Fairuzul Mumtaz Fajar Alayubi Farah Noersativa Faris Al Faisal Fatah Yasin Noor Fathoni Mahsun Fathurrozak Fauz Noor Fauzi Sukri Fazar Muhardi Feby Indirani Felix K. Nesi Franz Kafka FX Rudy Gunawan Gesang Gola Gong Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Guntur Budiawan Gus Noy Gusti Eka H.B. Jassin Hamka Hari Purwiati Haris del Hakim Hartono Harimurti Hasan Gauk Hasnan Bachtiar Henriette Marianne Katoppo Herry Lamongan HM. Nasruddin Anshoriy Ch Holy Adib Hudan Hidayat Humam S. Chudori I Nyoman Darma Putra Ida Fitri Idrus Ignas Kleden Ilung S. Enha Imam Muhayat Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Indonesia O’Galelano Indra Tjahyadi Indria Pamuhapsari Irwan Apriansyah Segara Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Zulkarnain J Anto Jadid Al Farisy Jakob Oetama Jalaluddin Rakhmat Jamal T. Suryanata James Joyce Januardi Husin Jemi Batin Tikal Jo Batara Surya Johan Fabricius John H. McGlynn John Halmahera Jordaidan Rizsyah Juan Kromen Judyane Koz Junaidi Khab Jurnal Kebudayaan The Sandour Jusuf AN K.H. M. Najib Muhammad Kadjie Mudzakir Kahfie Nazaruddin Kamran Dikarma Kedung Darma Romansha KH. Ahmad Musthofa Bisri Khansa Arifah Adila Khoirul Anam Khulda Rahmatia Kiki Sulistyo Komunitas Sastra Mangkubumen Komunitas-komunitas Teater di Lamongan Kurniawan Kurniawan Junaedhie Kuswaidi Syafi’ie Lagu Laksmi Shitaresmi Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lely Yuana Leo Tolstoy Linda Christanty Linda Sarmili Lutfi Mardiansyah M Zaid Wahyudi M. Adnan Amal M’Shoe Maghfur Munif Mahamuda Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Maman S. Mahayana Maratushsholihah Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Magdalena Bhoernomo Mariana Amiruddin Mario F. Lawi Maroeli Simbolon Martin Aleida Mashdar Zainal Mashuri Mbah Kalbakal Melani Budianta Mochtar Lubis Moh. Dzunnurrain Mohammad Bakir Mohammad Kasim Mohammad Tabrani Muhammad Ali Muhammad Idrus Djoge Muhammad Muhibbuddin Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhidin M. Dahlan Mukhsin Amar Mulyo Sunyoto Munawir Aziz Musafir Isfanhari Mustain Myra Sidharta N. Syamsuddin CH. Haesy Naim Nanda Alifya Rahmah Nara Ahirullah Naskah Teater Naufal Ridhwan Aly Nawangsari Nezar Patria Niduparas Erlang Nikita Mirzani Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nur Wahida Idris Nurel Javissyarqi Observasi Ocehan Pameran Lukisan Panggung Teater Pentigraf Performance Art Pondok Pesantren Al-Madienah Pramoedya Ananta Toer Pramono Pringgo HR Prosa Pudyo Saptono Puisi Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Puthut EA Putu Wijaya R. Toto Sugiharto Raedu Basha Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Prambudhi Dikimara Ratih Kumala Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Reko Alum Remy Sylado Resensi Reza Aulia Fahmi Ribut Wijoto Rikardo Padlika Gumelar Riki Dhamparan Putra Risang Anom Pujayanto Riska Nur Fitriyani Rofiqi Hasan Rokhim Sarkadek Roland Barthes Rony Agustinus Rosdiansyah Rozi Kembara Rx King Motor S Yoga S. Arimba S. Jai Sabda Armandio Sabine Mueller Sabine Müller Sabrank Suparno Saiful Amin Ghofur Sajak Samir Amin Samsudin Adlawi Samsul Anam Sapardi Djoko Damono Sasti Gotama Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Selendang Sulaiman Seno Gumira Ajidarma Shinta Maharani Sholihul Huda Sidik Nugroho Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sofyan RH. Zaid Sohifur Ridho’i Soni Farid Maulana Sosiawan Leak Sri Pudyastuti Baumeister Sugito Ha Es Sumani Sumargono SN Sunan Bonang Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Suripno Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutrisno Budiharto Sutrisno Buyil Syarif Hidayat Santoso T Agus Khaidir T.N Angkasa T.S. Eliot Tatan Daniel Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater ESKA Teater Pendopo nDalem Mangkubumen Teater Tawon Tedy Kartyadi Teguh Winarsho AS Teks Lagu Keroncong Bengawan Solo Tirto Suwondo Tito Sianipar Tiya Hapitiawati Tjahjono Widijanto Tjoet Nyak Dhien Toeti Heraty Toto Sudarto Bachtiar Tujuh Bukit Kapur Udin Badruddin Umbu Landu Paranggi Undri Uwell's King Shop Uwell's Setiawan Vitalia Tata W Haryanto W.S. Rendra Wahyu Hidayat Wahyudi Akmaliah Muhammad Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Jengki Sunarta Welly Kuswanto Wulansary Yasunari Kawabata Yeni Mulyani Yetti A. KA Yohanes Sehandi Yonathan Rahardjo Yudha Kristiawan Yudhistira ANM Massardi Yukio Mishima Yusri Fajar Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zehan Zareez Zuhdi Swt Zuhkhriyan Zakaria