Adin
obyektif.com
Benarkah tanggung jawab menjadi sastrawan, penyair, lebih-lebih kaitannya
dengan dunia kesusastraan, menjadi semata-mata tugas individu? Benarkah para
“calon” sastrawan atau penyair harus mengurus dirinya sendiri, berikut karyanya
tanpa peduli pada konteks kultural, apa ia tumbuh, dan sistem apa yang
melingkupinya?
Pertanyaan-pertanyaan di ataslah yang mendominasi dalam berbagai diskusi
yang digelar pada event “Sastra Balik Desa” baru-baru ini di Desa Gebyok,
Gunungpati, Semarang, Jawa Tengah, selama tiga hari. Komentar-komentar dari
beberapa senior semakin mengukuhkan mitos itu, bahwa untuk menjadi sastrawan,
Anda harus berdarah-darah sendirian, karena media hanya akan memuat karya yang
dianggapnya layak.
Pada tataran ideal dan iklim yang baik, barangkali mitos-mitos di atas
mendapatkan pembenarannya. Tetapi bagaiamana jika iklim tidak mendukung dan
infrastruktur kesusastraan tidak berfungsi sebagaimana diharapkan? Mengutip
Raudal Tanjung Banua, pembicara dalam salah satu sesi diskusi “Sastra Balik
Desa”, sudah menjadi rahasia umum bahwa tidak hanya kesusastraan, tetapi juga
kesenian, selalu dinomorduakan dan menjadi anak yatim di berbagai kota di
Indonesia.
Tetapi yang paling penting adalah bagaimana perasaan yatim itu menjadi
milik kolektif sehingga tercipta iklim saling membantu, support, dan mengisi
kekurangan. Jadi tidak hanya menuntut kualitas tetapi juga memperbaiki sistem
pembelajaran yang ada. Kalau saya misalkan dengan tradisi zakat, ada sebagian
dari hak untuk para pemula yang dibawa oleh sastrawan yang telah mapan.
“Menyitir Faisal Kamandobat yang mengungkapkan ide tentang etika. Jadi
tidak hanya perilaku kesusastraan saja dan tuntutan mengenai perbaikan kualitas
teks, tetapi juga diperhatikan etika dalam berkesusastraan,” imbuhnya.
Kesemua hal itulah yang kelak akan menentukan perkembangan kesusastraan di
suatu kota. Mengingat proses regenerasi sastrawan muda di Bali sangat pesat
patutlah kita iri hati. Tentunya bukan semata-mata karena bibit di sana baik,
dan bibit di sini busuk, tetapi bukankah realitas adalah konstruksi sosial dan
bukan semata terberi? Dan tentu saja menjadi tanggung jawab etik juga bagi
pihak-pihak yang berkepentingan untuk turut serta membentuk iklim kondusif.
Jadi tidak hanya mengaharap kerja keras dan berdarah-darah sementara pekerjanya
sendiri tidak diperhatikan nasibnya, kesehatannya, kebutuhan psikisnya,
begitulah kira-kira analoginya.
Acara “Sastra Balik Desa” ini memang secara tematik lebih dikhususkan pada
pemertanyaan ulang terhadap infrastruktur kesusastraan di Indonesia dan
terutama di daerah masing masing peserta. Berbagai peserta dari Jepara
(Komunitas Samudra), Kudus (Pojok Sastra), Purwokerto (Nyaman dkk), Pekalongan
(Rumah Imaji, Catur dkk), Solo (Pawon, Komunitas Lidah Buaya), Jogja (Rumah
Lebah), Karanganyar (HPK).
Menyusul kemudian dari Bandung (ASAS, Mnemonic), Magelang (Komunitas
Merapi), Salatiga, Rembang, (Sanggar Pesisir), Tangerang (KSI), Kulonprogo
(Lumbung Aksara), Cilacap, Ungaran (KSI), Semarang(KIAS), Kendal(Maos Ajar),
dan Pati (Sampak Gusuran), bertempat tinggal dan membaur bersama warga.
Barangkali interaksi yang terjalin tidak memungkinkan untuk dipetik
hasilnya secara ekstrim. Misalnya warga yang tiba-tiba menulis karya sastra
yang baik, atau mau membaca karya sastra. Tapi dari pertemuan singkat inilah,
kelak akan berdampak psikologis terhadap anak-anak yang selama ini dilibatkan.
Dari kebiasaan berinteraksi dengan dunia luar diharapkan ada iklim kebebasan
yang tertanam sejak dini di benak mereka.
Tidak hanya kebebasan untuk berpendapat tetapi juga mengekspresikan diri
dan hal itu berkait erat dengan identitas srawung yang dalam istilah warga
artinya relasi yang terjadi secara kekeluargaan dan toleransi antar-sesama
menjadi semangat dalam event sastra ini. Meskipun dalam beberapa hal barangkali
terdapat compang-camping dalam kerja kepanitiaan.
Acara yang dimeriahkan pembacaan puisi dari para sastrawan mapan, dan
pementasan teater, dibuka dengan arak-arakan anak-anak dan warga mengelilingi
pedusunan Gebyok. Para peserta dari berbagai kota mengikuti prosesi ini dan
dilanjutkan launching antologi Mencari Rumah yang diselenggarakan di pelataran
rumah warga.
Hari selanjutnya, ada beberapa sesi diskusi dengan pembicara antara lain
Yudiono KS, Iskandar, Budi Maryono, Yopi Setia Umbara, Wowok Hesti Prabowo,
Aulia Muhammad. Malamnya, dilanjutkan pembacaan puisi dan pementasan teater
Lingkar yang kebetulan tampil di Gebyok.
Hari terakhir, Gendot Wukir, Gema Yudha, Dian Hartati, Triyanto Triwikromo,
Dwicipta, Faisal Kamandobat turut juga memeriahkan sesi diskusi. Kemudian
malamnya dilanjutkan pembacaan puisi oleh Beno Siang Pamungkas, Timur Sinar
Suprabana, Wijang Warek, Gunoto Saparie, Anis Sholeh Baasyin, tidak ketinggalan
pula Komang Ira, Sunlie Thomas Alexander, Thendra, dan masih banyak lagi
rekan-rekan yang tidak dapat disebutkan satu persatu.
Konsep acara semacam ini memang bukanlah yang pertama. Beberapa waktu lalu
di Banten diadakan Ode Kampung yang menghasilkan manifesto bersama. Akan tetapi
acara kali ini, yang salah satu tujuannya untuk mencari isu bersama ini,
nampaknya kurang berhasil. Tetapi sebagai sebuah perhelatan kami kira cukup
berhasil. Ukurannya, karena hampir tidak banyak yang menyimpang dari rundown
semula. sekaligus bisa menjadi pintu bagi event-event serupa untuk tahun-tahun
berikutnya.
Karena tidak menutup kemungkinan Semarang kelak juga mempunyai event sastra
yang memang disokong tidak hanya segelintir orang, tetapi juga menjadi milik
kolektif komunitas sastra di Jawa Tengah.
***
12 – 07 – 2011
Catatan: Tulisan ini diposting ulang, demi menyambut Sastra Balik Desa
kedua yang semoga bisa terlaksana pada akhir tahun 2011. (Adin, Hysteria)
http://obyektif.com/sastrabudaya/read/tanggung_jawab_sastrawan_di_sastra_balik_desa__/
http://sastra-indonesia.com/2011/10/tanggung-jawab-sastrawan-di-sastra-balik-desa/
S'abonner à :
Publier des commentaires (Atom)
A. Anzieb
A. Muttaqin
A. Syauqi Sumbawi
A.P. Edi Atmaja
A.S. Laksana
Abdurrahman Wahid
Acep Zamzam Noor
Adhie M Massardi
Adin
Adrizas
Afrilia
Afrizal Malna
Afrizal Qosim
Aguk Irawan MN
Agus B. Harianto
Agus Himawan
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sulton
Agus Sunyoto
Ahmad Faishal
Ahmad Farid Yahya
Ahmad Fatoni
Ahmad Jauhari
Ahmadun Yosi Herfanda
Aik R Hakim
Akhmad Sekhu
Akhudiat
Akmal Nasery Basral
Albert Camus
Alex R. Nainggolan
Amanche Franck
Amien Kamil
Aming Aminoedhin
Ana Mustamin
Andra Nur Oktaviani
Andrenaline Katarsis
Anindita S. Thayf
Anjrah Lelono Broto
Annisa Febiola
Anton Wahyudi
Aprinus Salam
Arafat Nur
Arie MP Tamba
Arif Yulianto
Arifi Saiman
Arswendo Atmowiloto
Arung Wardhana Ellhafifie
Aryo Bhawono
AS Dharta
Asarpin
Atok Witono
Awalludin GD Mualif
Ayesha
B Kunto Wibisono
Badaruddin Amir
Balada
Bambang Bujono
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Bantar Sastra Bengawan
Beni Setia
Beno Siang Pamungkas
Berita
Berita Duka
Berita Foto
Bernadette Aderi
Bernando J. Sujibto
Binhad Nurrohmat
Boy Mihaballo
Budaya
Budi Darma
Bustan Basir Maras
Catatan
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
D. Zawawi Imron
Daisy Priyanti
Dareen Tatour
Daru Pamungkas
Dedy Tri Riyadi
Deni Jazuli
Denny JA
Denny Mizhar
Dessy Wahyuni
Dharmadi
Dhenok Kristianti
Dian Sukarno
Didin Tulus
Dina Oktaviani
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Doddi Ahmad Fauji
Dwi Fitria
Dwi Klik Santosa
E. M. Cioran
Ebiet G. Ade
Eddi Koben
Edi AH Iyubenu
Edy A Effendi
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Permadi
Eko Prasetyo
Enda Menzies
Ernest Hemingway
Erwin Setia
Esai
Evan Gunanzar
F. Rahardi
Fadllu Ainul Izzi
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Fairuzul Mumtaz
Fajar Alayubi
Farah Noersativa
Faris Al Faisal
Fatah Yasin Noor
Fathoni Mahsun
Fathurrozak
Fauz Noor
Fauzi Sukri
Fazar Muhardi
Feby Indirani
Felix K. Nesi
Franz Kafka
FX Rudy Gunawan
Gesang
Gola Gong
Grathia Pitaloka
Gunawan Budi Susanto
Guntur Budiawan
Gus Noy
Gusti Eka
H.B. Jassin
Hamka
Hari Purwiati
Haris del Hakim
Hartono Harimurti
Hasan Gauk
Hasnan Bachtiar
Henriette Marianne Katoppo
Herry Lamongan
HM. Nasruddin Anshoriy Ch
Holy Adib
Hudan Hidayat
Humam S. Chudori
I Nyoman Darma Putra
Ida Fitri
Idrus
Ignas Kleden
Ilung S. Enha
Imam Muhayat
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Indonesia O’Galelano
Indra Tjahyadi
Indria Pamuhapsari
Irwan Apriansyah Segara
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Zulkarnain
J Anto
Jadid Al Farisy
Jakob Oetama
Jalaluddin Rakhmat
Jamal T. Suryanata
James Joyce
Januardi Husin
Jemi Batin Tikal
Jo Batara Surya
Johan Fabricius
John H. McGlynn
John Halmahera
Jordaidan Rizsyah
Juan Kromen
Judyane Koz
Junaidi Khab
Jurnal Kebudayaan The Sandour
Jusuf AN
K.H. M. Najib Muhammad
Kadjie Mudzakir
Kahfie Nazaruddin
Kamran Dikarma
Kedung Darma Romansha
KH. Ahmad Musthofa Bisri
Khansa Arifah Adila
Khoirul Anam
Khulda Rahmatia
Kiki Sulistyo
Komunitas Sastra Mangkubumen
Komunitas-komunitas Teater di Lamongan
Kurniawan
Kurniawan Junaedhie
Kuswaidi Syafi’ie
Lagu
Laksmi Shitaresmi
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lely Yuana
Leo Tolstoy
Linda Christanty
Linda Sarmili
Lutfi Mardiansyah
M Zaid Wahyudi
M. Adnan Amal
M’Shoe
Maghfur Munif
Mahamuda
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Maman S. Mahayana
Maratushsholihah
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria Magdalena Bhoernomo
Mariana Amiruddin
Mario F. Lawi
Maroeli Simbolon
Martin Aleida
Mashdar Zainal
Mashuri
Mbah Kalbakal
Melani Budianta
Mochtar Lubis
Moh. Dzunnurrain
Mohammad Bakir
Mohammad Kasim
Mohammad Tabrani
Muhammad Ali
Muhammad Idrus Djoge
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Subarkah
Muhammad Yasir
Muhidin M. Dahlan
Mukhsin Amar
Mulyo Sunyoto
Munawir Aziz
Musafir Isfanhari
Mustain
Myra Sidharta
N. Syamsuddin CH. Haesy
Naim
Nanda Alifya Rahmah
Nara Ahirullah
Naskah Teater
Naufal Ridhwan Aly
Nawangsari
Nezar Patria
Niduparas Erlang
Nikita Mirzani
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Nur Wahida Idris
Nurel Javissyarqi
Observasi
Ocehan
Pameran Lukisan
Panggung Teater
Pentigraf
Performance Art
Pondok Pesantren Al-Madienah
Pramoedya Ananta Toer
Pramono
Pringgo HR
Prosa
Pudyo Saptono
Puisi
Pustaka Ilalang
PUstaka puJAngga
Puthut EA
Putu Wijaya
R. Toto Sugiharto
Raedu Basha
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rama Prambudhi Dikimara
Ratih Kumala
Raudal Tanjung Banua
Reiny Dwinanda
Reko Alum
Remy Sylado
Resensi
Reza Aulia Fahmi
Ribut Wijoto
Rikardo Padlika Gumelar
Riki Dhamparan Putra
Risang Anom Pujayanto
Riska Nur Fitriyani
Rofiqi Hasan
Rokhim Sarkadek
Roland Barthes
Rony Agustinus
Rosdiansyah
Rozi Kembara
Rx King Motor
S Yoga
S. Arimba
S. Jai
Sabda Armandio
Sabine Mueller
Sabine Müller
Sabrank Suparno
Saiful Amin Ghofur
Sajak
Samir Amin
Samsudin Adlawi
Samsul Anam
Sapardi Djoko Damono
Sasti Gotama
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Selendang Sulaiman
Seno Gumira Ajidarma
Shinta Maharani
Sholihul Huda
Sidik Nugroho
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Sofyan RH. Zaid
Sohifur Ridho’i
Soni Farid Maulana
Sosiawan Leak
Sri Pudyastuti Baumeister
Sugito Ha Es
Sumani
Sumargono SN
Sunan Bonang
Sunaryono Basuki Ks
Sunlie Thomas Alexander
Suripno
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Sutrisno Budiharto
Sutrisno Buyil
Syarif Hidayat Santoso
T Agus Khaidir
T.N Angkasa
T.S. Eliot
Tatan Daniel
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teater ESKA
Teater Pendopo nDalem Mangkubumen
Teater Tawon
Tedy Kartyadi
Teguh Winarsho AS
Teks Lagu Keroncong Bengawan Solo
Tirto Suwondo
Tito Sianipar
Tiya Hapitiawati
Tjahjono Widijanto
Tjoet Nyak Dhien
Toeti Heraty
Toto Sudarto Bachtiar
Tujuh Bukit Kapur
Udin Badruddin
Umbu Landu Paranggi
Undri
Uwell's King Shop
Uwell's Setiawan
Vitalia Tata
W Haryanto
W.S. Rendra
Wahyu Hidayat
Wahyudi Akmaliah Muhammad
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Jengki Sunarta
Welly Kuswanto
Wulansary
Yasunari Kawabata
Yeni Mulyani
Yetti A. KA
Yohanes Sehandi
Yonathan Rahardjo
Yudha Kristiawan
Yudhistira ANM Massardi
Yukio Mishima
Yusri Fajar
Zakky Zulhazmi
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zuhdi Swt
Zuhkhriyan Zakaria
Aucun commentaire:
Publier un commentaire