lundi 5 juillet 2021

Membangkitkan Kembali Ruh Mpu Tantular

T.N Angkasa
oase.kompas.com, 18 Mar 2009
 
“Indoktrinasi yang dilakukan terhadap anak-anak kita sejak usia dini menciptakan konflik di dalam diri mereka. Doktrin yang mereka peroleh – termasuk cara makan, berpakaian dan lain sebagainya – membuat mereka tertutup” (hal 255).
 
Mpu Tantular menulis Kakawin Sutasoma untuk mengkritik Gajah Mada. Saat itu fondasi yang dipakai oleh Sang Maha Patih guna menyatukan Nusantara begitu rapuh. Deklarator Sumpah Palapa tersebut menggunakan strategi militer, ekonomi dan agama. Sebagai alternatif, Sang Mpu menawarkan pendekatan budaya untuk mengatasi krisis multidmensi yang mendera Majapahit.
 
Pangeran Sutasoma lahir di India. Saat itu kepulauan Dwipantara masih menyatu dengan daratan Jambudwipa, sehingga wajar bila banyak kemiripan antara Indonesia dan India. Dari seni pewayangan sampai dengan teknik bercocok tanam. Kenapa? karena akar budayanya satu. Yakni peradaban subur di sekitar Sungai Sindhu yang membentang dari Gandhaar (sekarang Kandahar di Afganistan) hingga perbatasan Astraalaya (disebutkan kini Australia).
 
Ibunya bernama Prajnadhari, seorang permaisuri kerajaan Hastina, sedangkan ayahnya bernama Mahaketu, raja bijak yang berkuasa atas sebagian besar wilayah Jambudwipa. Kelahiran Sang Putra Mahkota disambut gembira oleh keluarga, kerabat istana, dan seluruh rakyat. Yang mencolok ialah kulit si bayi mungil ini bersih nyaris tanpa noda. Suta berarti anak dan soma berarti bulan. Para astronom memprediksi kelak Sutasoma akan bertabiat ibarat rembulan nan lembut dan melembutkan (hal 65).
 
Anehnya begitu menginjak usia remaja Sang Pangeran enggan mendalami ilmu ekonomi-politik. Ia justru lebih suka mendengarkan wejangan para biku dan pertapa, baik yang menganut ajaran Buddha maupun Tantra Shiva. Hingga akhirnya pada suatu malam tanpa bekal sepeserpun Sutasoma kabur dari istana menggembara untuk menemukan makna sejati kehidupan (sejatine urip).
 
Setelah keluar-masuk hutan Sutasoma bertemu dengan Biku Sumitra yang ternyata kakeknya sendiri. Dulu si eyang bernama Jayatsena, nama barunya itu hadiah dari Sang Guru. Su-Mitra artinya sahabat yang baik, beliau berusaha menjalin persahabatan dengan siapa saja tanpa pandang bulu.
 
Ada dua hal penting yang disampaikan, pertama Sutasoma kelak akan menikah dengan putri pamannya sendiri, Chandrawati akan menjadi pendamping setia sekaligus sumber inspirasi dalam pelayanan pada sesama. Kedua, ia musti “menaklukkan” Purushaada, raja lalim yang selama ini menindas rakyat.
 
Purushaada berasal dari kata purusha atau manusia yang belum sempurna (hal 181). Ia yang masih setengah-setengah. Purushaada merindukan kehadiran Sutasoma alias kehangatan belaian Rembulan. Kini pun masih banyak orang bertubuh manusia yang kelakuannya sub-human karena kerap menindas orang lain.
 
Akhirnya Keberadaan (baca: Tuhan) mempertemukan Sutasoma dan Purushaada, tepatnya di kuil Batara Kala. Tatkala insting hewani (ego) Purushaada larut dalam kehangatan cinta Sutasoma secara alamiah terjadi phenomena Kawula Manunggaling Gusti – Tauhid! Dalam bahasa Mpu Tantular berbunyi, “Rwaaneka dhaatu winuwus Buddha Wishwa bhineki rakwa ring apan kena parwanosen, mankaang Jinatwa kalawan Shivatatwa tunggal, bhineka tunggal ika tan hana dharma mangrwa.” (Kakawin Sutasoma atau Purushaada Shantaa, CXXXIX:5 diterjemahkan oleh I Gusti Bagus Sugriwa)
 
Buku ini ialah yantra atau alat untuk membangkitkan kembali ruh ke-empu-an dalam diri kita, sebagaimana Mpu Tantular pernah merasuki Bung Karno, Hatta, Dewantoro, dll. Kini tugas sejarah generasi abad ke-21 untuk mendengungkan kembali pesan persatuan, “Bhineka Tunggal Ika, Tan Hana Dharma Mangrwa” di bumi Nusantara tercinta.
 
Judul : Sandi Sutasoma, Menemukan Kepingan Jiwa Mpu Tantular
Penulis : Anand Krishna
Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama
Cetakan : I, 2007
Tebal : vi + 312 Halaman

*) T.N Angkasa S.Pd, Alumnus Pendidikan Bahasa Inggris Universitas Sanata Dharma, Aktivis Gerakan Integrasi Nasional. http://sastra-indonesia.com/2009/06/membangkitkan-kembali-ruh-mpu-tantular/

Aucun commentaire:

Publier un commentaire

A. Anzieb A. Muttaqin A. Syauqi Sumbawi A.P. Edi Atmaja A.S. Laksana Abdurrahman Wahid Acep Zamzam Noor Adhie M Massardi Adin Adrizas Afrilia Afrizal Malna Afrizal Qosim Aguk Irawan MN Agus B. Harianto Agus Himawan Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agus Sunyoto Ahmad Faishal Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Jauhari Ahmadun Yosi Herfanda Aik R Hakim Akhmad Sekhu Akhudiat Akmal Nasery Basral Albert Camus Alex R. Nainggolan Amanche Franck Amien Kamil Aming Aminoedhin Ana Mustamin Andra Nur Oktaviani Andrenaline Katarsis Anindita S. Thayf Anjrah Lelono Broto Annisa Febiola Anton Wahyudi Aprinus Salam Arafat Nur Arie MP Tamba Arif Yulianto Arifi Saiman Arswendo Atmowiloto Arung Wardhana Ellhafifie Aryo Bhawono AS Dharta Asarpin Atok Witono Awalludin GD Mualif Ayesha B Kunto Wibisono Badaruddin Amir Balada Bambang Bujono Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bantar Sastra Bengawan Beni Setia Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Berita Foto Bernadette Aderi Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Boy Mihaballo Budaya Budi Darma Bustan Basir Maras Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar D. Zawawi Imron Daisy Priyanti Dareen Tatour Daru Pamungkas Dedy Tri Riyadi Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dharmadi Dhenok Kristianti Dian Sukarno Didin Tulus Dina Oktaviani Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dwi Fitria Dwi Klik Santosa E. M. Cioran Ebiet G. Ade Eddi Koben Edi AH Iyubenu Edy A Effendi Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Permadi Eko Prasetyo Enda Menzies Ernest Hemingway Erwin Setia Esai Evan Gunanzar F. Rahardi Fadllu Ainul Izzi Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Fairuzul Mumtaz Fajar Alayubi Farah Noersativa Faris Al Faisal Fatah Yasin Noor Fathoni Mahsun Fathurrozak Fauz Noor Fauzi Sukri Fazar Muhardi Feby Indirani Felix K. Nesi Franz Kafka FX Rudy Gunawan Gesang Gola Gong Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Guntur Budiawan Gus Noy Gusti Eka H.B. Jassin Hamka Hari Purwiati Haris del Hakim Hartono Harimurti Hasan Gauk Hasnan Bachtiar Henriette Marianne Katoppo Herry Lamongan HM. Nasruddin Anshoriy Ch Holy Adib Hudan Hidayat Humam S. Chudori I Nyoman Darma Putra Ida Fitri Idrus Ignas Kleden Ilung S. Enha Imam Muhayat Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Indonesia O’Galelano Indra Tjahyadi Indria Pamuhapsari Irwan Apriansyah Segara Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Zulkarnain J Anto Jadid Al Farisy Jakob Oetama Jalaluddin Rakhmat Jamal T. Suryanata James Joyce Januardi Husin Jemi Batin Tikal Jo Batara Surya Johan Fabricius John H. McGlynn John Halmahera Jordaidan Rizsyah Juan Kromen Judyane Koz Junaidi Khab Jurnal Kebudayaan The Sandour Jusuf AN K.H. M. Najib Muhammad Kadjie Mudzakir Kahfie Nazaruddin Kamran Dikarma Kedung Darma Romansha KH. Ahmad Musthofa Bisri Khansa Arifah Adila Khoirul Anam Khulda Rahmatia Kiki Sulistyo Komunitas Sastra Mangkubumen Komunitas-komunitas Teater di Lamongan Kurniawan Kurniawan Junaedhie Kuswaidi Syafi’ie Lagu Laksmi Shitaresmi Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lely Yuana Leo Tolstoy Linda Christanty Linda Sarmili Lutfi Mardiansyah M Zaid Wahyudi M. Adnan Amal M’Shoe Maghfur Munif Mahamuda Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Maman S. Mahayana Maratushsholihah Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Magdalena Bhoernomo Mariana Amiruddin Mario F. Lawi Maroeli Simbolon Martin Aleida Mashdar Zainal Mashuri Mbah Kalbakal Melani Budianta Mochtar Lubis Moh. Dzunnurrain Mohammad Bakir Mohammad Kasim Mohammad Tabrani Muhammad Ali Muhammad Idrus Djoge Muhammad Muhibbuddin Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhidin M. Dahlan Mukhsin Amar Mulyo Sunyoto Munawir Aziz Musafir Isfanhari Mustain Myra Sidharta N. Syamsuddin CH. Haesy Naim Nanda Alifya Rahmah Nara Ahirullah Naskah Teater Naufal Ridhwan Aly Nawangsari Nezar Patria Niduparas Erlang Nikita Mirzani Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nur Wahida Idris Nurel Javissyarqi Observasi Ocehan Pameran Lukisan Panggung Teater Pentigraf Performance Art Pondok Pesantren Al-Madienah Pramoedya Ananta Toer Pramono Pringgo HR Prosa Pudyo Saptono Puisi Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Puthut EA Putu Wijaya R. Toto Sugiharto Raedu Basha Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Prambudhi Dikimara Ratih Kumala Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Reko Alum Remy Sylado Resensi Reza Aulia Fahmi Ribut Wijoto Rikardo Padlika Gumelar Riki Dhamparan Putra Risang Anom Pujayanto Riska Nur Fitriyani Rofiqi Hasan Rokhim Sarkadek Roland Barthes Rony Agustinus Rosdiansyah Rozi Kembara Rx King Motor S Yoga S. Arimba S. Jai Sabda Armandio Sabine Mueller Sabine Müller Sabrank Suparno Saiful Amin Ghofur Sajak Samir Amin Samsudin Adlawi Samsul Anam Sapardi Djoko Damono Sasti Gotama Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Selendang Sulaiman Seno Gumira Ajidarma Shinta Maharani Sholihul Huda Sidik Nugroho Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sofyan RH. Zaid Sohifur Ridho’i Soni Farid Maulana Sosiawan Leak Sri Pudyastuti Baumeister Sugito Ha Es Sumani Sumargono SN Sunan Bonang Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Suripno Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutrisno Budiharto Sutrisno Buyil Syarif Hidayat Santoso T Agus Khaidir T.N Angkasa T.S. Eliot Tatan Daniel Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater ESKA Teater Pendopo nDalem Mangkubumen Teater Tawon Tedy Kartyadi Teguh Winarsho AS Teks Lagu Keroncong Bengawan Solo Tirto Suwondo Tito Sianipar Tiya Hapitiawati Tjahjono Widijanto Tjoet Nyak Dhien Toeti Heraty Toto Sudarto Bachtiar Tujuh Bukit Kapur Udin Badruddin Umbu Landu Paranggi Undri Uwell's King Shop Uwell's Setiawan Vitalia Tata W Haryanto W.S. Rendra Wahyu Hidayat Wahyudi Akmaliah Muhammad Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Jengki Sunarta Welly Kuswanto Wulansary Yasunari Kawabata Yeni Mulyani Yetti A. KA Yohanes Sehandi Yonathan Rahardjo Yudha Kristiawan Yudhistira ANM Massardi Yukio Mishima Yusri Fajar Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zehan Zareez Zuhdi Swt Zuhkhriyan Zakaria