lundi 5 juillet 2021

Spiritualitas ala Warung Kopi

Saiful Amin Ghofur *
jawapos.com
 
SEBAB untuk membaca peta langit, seseorang harus terlebih dulu menyeka airmata bumi.
Begitulah, seperca sajak Keranda Cahaya yang diteluhkan Ilung S. Enha di ufuk senjakala untuk mengawal karib spiritualnya, Zainal Arifin Thoha, menanggalkan kesementaraan bumi menuju langit keabadian pada 14 Maret 2007 silam.
 
Selajur Keranda Cahaya itu merupakan jelma pemberontakan Ilung terhadap arus utama spiritualitas. Selama ini ruang-ruang spiritualitas disesaki dengan doktrin purba sufistik yang cenderung elitis-egosentris. Disebut demikian karena spiritualitas diasumsikan berada di menara gading di mana proses lelaku di dalamnya berkelok-liku penuh rambu-rambu.
 
Proses lelaku spiritualitas itu tak jarang dilakoni dengan menihilkan interaksi humanis dalam konteks sosial-kemasyarakatan. Maka, di sinilah ditemu jawaban kenapa para pelaku spiritualitas (salik) acapkali acuh dengan dinamika lingkungan sekitar (baca: jazab) disebabkan oleh ekstase dalam kerinduan personal dengan Tuhan.
 
Padahal, senyatanya tidaklah begitu. Posisi manusia sebagai hamba Tuhan (abdullah) dan representasi fungsi ketuhanan di muka bumi (khalifatullah) mesti berjalan seirama. Segendang sepenarian. Masing-masing tak boleh saling menegasikan. Interaksi vertikal dan horizontal lantas menjumbuhkan misi agung yang berdenyar saban waktu di atas altar kemanusiaan. Inilah substansi spiritualitas yang membumi: spiritualitas keseharian.
 
Dan, Ilung melalui buku bertudung My God My Love ini telah mengekalkan proposisi itu. Ia memantik suluh penerang untuk menyibak spiritualitas yang remang-remang. Tentu, ia tak hanya melempar wacana. Gagasan spiritualitas keseharian yang diusung buku ini ia rajut dari serpih-serpih kontemplasi dan pengalaman rohani serta dibalurkan dengan kelenturan pergaulan sosial.
 
Pergaulan yang luas menjadikannya sosok solider, bisa diterima di seluruh lapisan sosial masyarakat, mulai kaum pinggir terminalan hingga elite perkotaan. Dalam pergaulan itulah ia mengejawantahkan secara reflektif olah batin dan daya karsa spiritualitas yang disadap dari nira ayat-ayat ketuhanan. Sosoknya yang nyentrik melampaui sekat-sekat spiritualitas yang selama ini riuh dengan beragam atribut religiusitas simbolistis.
 
Secara tersirat, hal itu mendedahkan makna bahwa menyusuri lorong-lorong spiritualitas tak harus dipadu dengan simbol-simbol verbalistik semisal tazakur masal dengan berkopyah dan berkalung sorban. Muara spiritualitas adalah kejernihan hati, sehingga dengan demikian sinyal-sinyal kearifan yang terpancar dari wahyu yang kudus dapat disebarluaskan secara merata dalam jejaring kemanusiaan horizontal.
 
Dengan trengginas Ilung membuka cara pandang baru bagi para penempuh spiritualitas pemula untuk menihilkan kisah-kisah besar tokoh spiritualitas. Sebab, kisah-kisah itu tanpa disadari akan menjadi standar perbandingan dan ukuran keberhasilan menempuh spiritualitas. Kisah-kisah itu meruang-waktu, sehingga dibutuhkan kearifan untuk menimbang ulang. Dengan cara ini, penempuh spiritualitas pemula bisa memulai lelaku dengan lebih lempang (hlm. 10).
 
Untuk memasuki lorong spiritualitas, mainstream yang berkembang mengharuskan proses tahapan hirarkis: syariat-tarekat-hakikat-makrifat. Diyakini sebagian tokoh spiritualitas bahwa tahapan tersebut adalah jenjang bertingkat yang berakibat bisa menafikan segala taklif religiusitas di bawahnya.
 
Bagi Ilung, konsepsi demikian patut dirombak. Tahapan tersebut tidak bersifat hirarkis, melainkan sebuah proses satu lingkar perjalanan memutar, sehingga tahapan satu tidak melingkupi yang lain akan tetapi saling melengkapi. Dengan begitu, interaksi vertikal (habl minallah) dan horizontal (habl minannas) bisa tergali lebih optimal (hlm. 31-52).
 
Interaksi vertikal-horizontal ini pula yang harus dikemas sesuai dengan konteks kekinian. Seturut Ilung, dogma zuhud yang mengental dalam ranah doktrinal spiritualitas telah melahirkan konsepsi bahwa penempuh spiritualitas mesti beruzlah, menyepi dari karut-marut duniawi. Tentu, di era modernitas paradigma uzlah sepatutnya digeser dari uzlah fisik ke arah uzlah hati.
 
Kehadiran buku ini melengkapi sketsa pemikiran Ilung yang terhampar dalam buku sebelumnya, Diary untuk Tuhan. Dalam buku itu, ia memaparkan pergulatan panjang keresahan sekaligus kerinduan dan kecintaan kepada Tuhan. Dengan rasa bahasa yang masih kental dengan nuansa sastra, di buku ini ia mengurai kembali rindu dan cinta itu dalam bingkai spiritualitas kontekstual.
 
Berbeda dengan buku-buku spiritualitas lain yang kebanyakan bertutur tentang spiritualitas secara teoritis, buku ini beranjak lebih jauh. Wacana spiritualitas tidak sekadar dihamparkan, akan tetapi dikaji dengan kritis untuk direkonstruksi, sehingga kesan menempuh spiritualitas yang rumit dan berbelit-belit segera runtuh. Inilah kontribusi Ilung yang laik diapresiasi. Karena itu, sangat masuk akal jika tak lama lagi narasi adiluhung buku ini segera tayang di layar kaca.
 
Lebih dari itu, buku ini pun layak dikategorikan sebagai buku panduan reflektif bagi para penempuh spiritualitas pemula. Di tangan Ilung, spiritualitas yang dianggap sebagian orang sebagai sesuatu yang berat menjadi ringan dan begitu santai.
 
Ibarat cangkrukan di warung kopi, Ilung membabarkan rute spiritualitas yang guyup. Para penempuh spiritualitas pemula bisa berangkat dari titik eksistensi masing-masing tanpa perlu sama sekali membawa atribut yang melekat pada dirinya. Di sanalah mereka berjumpa, saling menimba pengetahuan dan pengalaman spiritual. Sungguh, wisata rohani yang menenteramkan hati: berspiritualitas ala warung kopi.
 
Judul Buku : My God My Love
Penulis : Ilung S. Enha
Penerbit : Hikmah, Jakarta
Cetakan : Pertama, Maret 2009
Tebal : 214 halaman

*) Kolator www.cintaibuku.co.cc http://sastra-indonesia.com/2009/06/spiritualitas-ala-warung-kopi/

Aucun commentaire:

Publier un commentaire

A. Anzieb A. Muttaqin A. Syauqi Sumbawi A.P. Edi Atmaja A.S. Laksana Abdurrahman Wahid Acep Zamzam Noor Adhie M Massardi Adin Adrizas Afrilia Afrizal Malna Afrizal Qosim Aguk Irawan MN Agus B. Harianto Agus Himawan Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agus Sunyoto Ahmad Faishal Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Jauhari Ahmadun Yosi Herfanda Aik R Hakim Akhmad Sekhu Akhudiat Akmal Nasery Basral Albert Camus Alex R. Nainggolan Amanche Franck Amien Kamil Aming Aminoedhin Ana Mustamin Andra Nur Oktaviani Andrenaline Katarsis Anindita S. Thayf Anjrah Lelono Broto Annisa Febiola Anton Wahyudi Aprinus Salam Arafat Nur Arie MP Tamba Arif Yulianto Arifi Saiman Arswendo Atmowiloto Arung Wardhana Ellhafifie Aryo Bhawono AS Dharta Asarpin Atok Witono Awalludin GD Mualif Ayesha B Kunto Wibisono Badaruddin Amir Balada Bambang Bujono Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bantar Sastra Bengawan Beni Setia Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Berita Foto Bernadette Aderi Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Boy Mihaballo Budaya Budi Darma Bustan Basir Maras Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar D. Zawawi Imron Daisy Priyanti Dareen Tatour Daru Pamungkas Dedy Tri Riyadi Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dharmadi Dhenok Kristianti Dian Sukarno Didin Tulus Dina Oktaviani Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dwi Fitria Dwi Klik Santosa E. M. Cioran Ebiet G. Ade Eddi Koben Edi AH Iyubenu Edy A Effendi Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Permadi Eko Prasetyo Enda Menzies Ernest Hemingway Erwin Setia Esai Evan Gunanzar F. Rahardi Fadllu Ainul Izzi Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Fairuzul Mumtaz Fajar Alayubi Farah Noersativa Faris Al Faisal Fatah Yasin Noor Fathoni Mahsun Fathurrozak Fauz Noor Fauzi Sukri Fazar Muhardi Feby Indirani Felix K. Nesi Franz Kafka FX Rudy Gunawan Gesang Gola Gong Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Guntur Budiawan Gus Noy Gusti Eka H.B. Jassin Hamka Hari Purwiati Haris del Hakim Hartono Harimurti Hasan Gauk Hasnan Bachtiar Henriette Marianne Katoppo Herry Lamongan HM. Nasruddin Anshoriy Ch Holy Adib Hudan Hidayat Humam S. Chudori I Nyoman Darma Putra Ida Fitri Idrus Ignas Kleden Ilung S. Enha Imam Muhayat Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Indonesia O’Galelano Indra Tjahyadi Indria Pamuhapsari Irwan Apriansyah Segara Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Zulkarnain J Anto Jadid Al Farisy Jakob Oetama Jalaluddin Rakhmat Jamal T. Suryanata James Joyce Januardi Husin Jemi Batin Tikal Jo Batara Surya Johan Fabricius John H. McGlynn John Halmahera Jordaidan Rizsyah Juan Kromen Judyane Koz Junaidi Khab Jurnal Kebudayaan The Sandour Jusuf AN K.H. M. Najib Muhammad Kadjie Mudzakir Kahfie Nazaruddin Kamran Dikarma Kedung Darma Romansha KH. Ahmad Musthofa Bisri Khansa Arifah Adila Khoirul Anam Khulda Rahmatia Kiki Sulistyo Komunitas Sastra Mangkubumen Komunitas-komunitas Teater di Lamongan Kurniawan Kurniawan Junaedhie Kuswaidi Syafi’ie Lagu Laksmi Shitaresmi Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lely Yuana Leo Tolstoy Linda Christanty Linda Sarmili Lutfi Mardiansyah M Zaid Wahyudi M. Adnan Amal M’Shoe Maghfur Munif Mahamuda Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Maman S. Mahayana Maratushsholihah Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Magdalena Bhoernomo Mariana Amiruddin Mario F. Lawi Maroeli Simbolon Martin Aleida Mashdar Zainal Mashuri Mbah Kalbakal Melani Budianta Mochtar Lubis Moh. Dzunnurrain Mohammad Bakir Mohammad Kasim Mohammad Tabrani Muhammad Ali Muhammad Idrus Djoge Muhammad Muhibbuddin Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhidin M. Dahlan Mukhsin Amar Mulyo Sunyoto Munawir Aziz Musafir Isfanhari Mustain Myra Sidharta N. Syamsuddin CH. Haesy Naim Nanda Alifya Rahmah Nara Ahirullah Naskah Teater Naufal Ridhwan Aly Nawangsari Nezar Patria Niduparas Erlang Nikita Mirzani Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nur Wahida Idris Nurel Javissyarqi Observasi Ocehan Pameran Lukisan Panggung Teater Pentigraf Performance Art Pondok Pesantren Al-Madienah Pramoedya Ananta Toer Pramono Pringgo HR Prosa Pudyo Saptono Puisi Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Puthut EA Putu Wijaya R. Toto Sugiharto Raedu Basha Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Prambudhi Dikimara Ratih Kumala Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Reko Alum Remy Sylado Resensi Reza Aulia Fahmi Ribut Wijoto Rikardo Padlika Gumelar Riki Dhamparan Putra Risang Anom Pujayanto Riska Nur Fitriyani Rofiqi Hasan Rokhim Sarkadek Roland Barthes Rony Agustinus Rosdiansyah Rozi Kembara Rx King Motor S Yoga S. Arimba S. Jai Sabda Armandio Sabine Mueller Sabine Müller Sabrank Suparno Saiful Amin Ghofur Sajak Samir Amin Samsudin Adlawi Samsul Anam Sapardi Djoko Damono Sasti Gotama Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Selendang Sulaiman Seno Gumira Ajidarma Shinta Maharani Sholihul Huda Sidik Nugroho Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sofyan RH. Zaid Sohifur Ridho’i Soni Farid Maulana Sosiawan Leak Sri Pudyastuti Baumeister Sugito Ha Es Sumani Sumargono SN Sunan Bonang Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Suripno Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutrisno Budiharto Sutrisno Buyil Syarif Hidayat Santoso T Agus Khaidir T.N Angkasa T.S. Eliot Tatan Daniel Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater ESKA Teater Pendopo nDalem Mangkubumen Teater Tawon Tedy Kartyadi Teguh Winarsho AS Teks Lagu Keroncong Bengawan Solo Tirto Suwondo Tito Sianipar Tiya Hapitiawati Tjahjono Widijanto Tjoet Nyak Dhien Toeti Heraty Toto Sudarto Bachtiar Tujuh Bukit Kapur Udin Badruddin Umbu Landu Paranggi Undri Uwell's King Shop Uwell's Setiawan Vitalia Tata W Haryanto W.S. Rendra Wahyu Hidayat Wahyudi Akmaliah Muhammad Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Jengki Sunarta Welly Kuswanto Wulansary Yasunari Kawabata Yeni Mulyani Yetti A. KA Yohanes Sehandi Yonathan Rahardjo Yudha Kristiawan Yudhistira ANM Massardi Yukio Mishima Yusri Fajar Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zehan Zareez Zuhdi Swt Zuhkhriyan Zakaria